AJI: Jurnalis Dibayangi Persekusi dan Kekerasan Fisik

Jurnalis di Yogyakarta melakukan aksi penuntutan pengusutan kasus terbunuhnya wartawan Udin. Foto Rienews.com.
Jurnalis di Yogyakarta melakukan aksi penuntutan pengusutan kasus terbunuhnya wartawan Udin. Foto Rienews.com.

Sedangkan Ketua AJI Abdul Manan dilaporkan secara pidana ke Polda Metro Jaya pada 23 Oktober 2018 dan digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 24 Oktober 2018 terkait dengan liputan investigasi 5 media tentang “Skandal Buku Merah” dalam kolaborasi IndonesiaLeaks.

Liputan itu mengungkap kasus perusakan barang bukti yang berisi dugaan aliran dana ke para petinggi Polri yang dilakukan oleh penyidik KPK dari unsur polisi. Abdul Manan dkk dilaporkan pengacara Elvan Gomez ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 317 KUHP tentang Pengaduan Palsu pada Penguasa. Belum ada tindak lanjut dari Polda Metro Jaya atas pelaporan ini. Sedangkan gugatan perdata dicabut Gomez pada 26 Oktober.

Untuk kasus kekerasan dan intimidasi terhadap media dan Jurnalis, antara lain menimpa Harian Radar Bogor dan Majalah Tempo. Radar Bogor, yang berkantor di Jalan KH. R. Abdullah bin Muhammad Nuh, Tanah Sereal, Bogor, didatangi sekitar 100 orang massa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Massa juga memukul staf yang bertugas saat itu, serta merusak sejumlah properti milik redaksi.

Kedatangan massa partai penguasa ini memrotes pemberitaan yang terbit pada Rabu, 30 Mei 2018 berjudul ‘Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp. 112 juta’. Berita ini menulis besarnya pendapatan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan, yang diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Ideologi Pancasila. Massa menilai pemberitaan ini menyudutkan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Kantor redaksi Tempo didatangi ratusan massa Front Pembela Islam pada 16 Maret 2018. Pimpinan massa yang berdiri di atas mobil komando menuntut redaksi media tersebut meminta maaf. Ketika Pemimpin Majalah Tempo Arief Zulkifli dan beberapa awak redaksi majalah ini menemui perwakilan massa di dalam kantor Tempo, bukan dialog sehat yang terjadi melainkan tekanan dan intimidasi. Tekanan yang muncul pada redaksi sepanjang pertemuan itu, misalnya, memaksa perwakilan Tempo menggunakan kata ‘habib’ ketika menyebut nama Rizieq Shibab. Mereka menilai panggilan “bapak” atau “pak” juga dikategorikan menghormati Rizieq Shibab.

Ancaman Kebebasan Pers

Selain kasus kekerasan, hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers adalah masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bias mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.

Pada tahun 2018, ada dua langkah legislasi Pemerintah dan DPR yang cukup merisaukan, yaitu yaitu amandemen Undang-Undang MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna DPR 12 Februari 201823 serta revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ada tiga soal dalam undang-undang ini yang dianggap kontroversial. Satu di antaranya adalah adanya pasal yang mengindikasikan akan ada proses hukum bagi pengkritik DPR. Ini tertuang dalam pasal 122 huruf K yang mengatur tugas Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Pasal itu berbunyi: “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR.” AJI mengkritik pasal 122 dalam UUD MD3 itu karena bersifat “karet”, dan mengesankan DPR sbagai alergi terhadap kritik. Ketidakjelasan definisi antara mengkritik dan menghina seperti yang selama ini sering terjadi, akan membuat Jurnalis dan media menjadi sasaran yang mudah untuk dijerat dengan pasal ini.

Komunitas pers berharap revisi KUHP akan memberikan angin segar. Sebab, KUHP peninggalan penjajah Belanda itu memiliki cukup banyak pasal pidana yang bisa menyeret wartawan ke pengadilan dan menjebloskannya ke penjara. Hanya saja dari pembahasan keduanya diketahui bahwa Pemerintah dan DPR mempertahankan sejumlah pasal yang selama ini dikritik karena mengancam kemerdekaan pers, termasuk pasal pencemaran nama baik (defamation) dan memasukkan lagi pasal penghinaan terhadap Presiden yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2006.

Selain itu, juga ada pasal baru soal penghinaan terhadap lembaga peradilan (contemp of court). Pasal contempt of court terdapat dalam Pasal 329 huruf (d) Rancangan KUHP yang berbunyi “Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan.” Pasal ini menyediakan sanksi pidana 5 tahun penjara bagi yang melanggarnya. Pasal ini cukup krusial bagi wartawan. Sebab, ketika dia meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun bisa saja memperkarakan dengan alasan bahwa beritanya mempengaruhi hakim.

AJI juga menyoroti pasal 309 ayat (1) yang terkait dengan kabar bohong. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”. Frasa “mengakibatkan keonaran” pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan dipakai untuk mengkriminalisasi wartawan.

Pasal lain yang jelas bisa membungkam kebebasan berekspresi adalah pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”. (Red)