Hari HAM Sedunia, Prof Asvi: Negara Gagal Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Prof. Asvi Warman Adam dalam acara Orasi Kebudayaan pada Jumat, 12 Desember 2025, di Auditorium FK UII, memperingati Hari HAM Sedunia.
Prof. Asvi Warman Adam dalam acara Orasi Kebudayaan pada Jumat, 12 Desember 2025, di Auditorium FK UII, memperingati Hari HAM Sedunia.

RIENEWS.COM – Upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat dibagi atas beberapa koridor penyelesaian. Pertama, melewati koridor politik dan hukum. Lalu kedua, melalui kreativitas budaya.

Jalur pertama ini tidak mudah dan menghadapi resistensi. Upaya untuk menuntut melalui pengadilan HAM Adhoc tidak berjalan. Demikian pula dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR).

”Undang-Undang KKR sempat dibuat setelah berjuang sekian lama, namun anggota KKR itu tidak kunjung diangkat Presiden dan kemudian Undang-Undang itu dirubuhkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Assidhiqie,” ungkap sejarawan Prof. Asvi Warman Adam dalam acara Orasi Kebudayaan yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISB), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), UII, pada Jumat, 12 Desember 2025, di Auditorium FK UII.

Selain itu, menurut Asvi, perbaikan kurikulum sejarah telah dilakukan tahun 2004 namun dimentahkan kembali pada kurikulum yang dikeluarkan Mendiknas tahun 2006. Class action yang dilakukan para korban pada tahun 2005 pun ditolak oleh pengadilan.

Asvi menilai, negara telah gagal menyelesaikan pelbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak negara ini merdeka.

Dalam teks orasinya berjudul Krisis Memori Kolektif Pelanggaran HAM Berat Era Soeharto Sampai Kini (1965-2025), Prof. Asvi menyebutkan, ”yang menarik adalah tiga orang, Ketua Fadli Zon, Wakil Ketua Susanto Zuhdi dan anggota Agus Mulyana adalah tiga penanggung jawab buku Sejarah Nasional. Bisa saja orang akan berpikir bahwa penulisan sejarah nasional dan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional November 2025 merupakan satu paket.”

Ia menambahkan bahwa belakangan santer dibicarakan lewat seminar dan penerbitan buku dua tokoh yaitu Soemitro Djojohadikoesomo (ayah Prabowo) dan Margono Djojohadikoesoemo (kakek Prabowo). Apakah ketiganya (mantan mertua, ayah, dan kakek) sekaligus akan menjadi Pahlawan Nasional? Ada adagium yang populer “sejarah ditulis oleh pemenang”. Namun ternyata, kata Prof Asvi, sejarah itu bukan hanya ditulis tetapi juga dikuasai sepenuhnya.

Pada masa Orde Baru, rekayasa sejarah itu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Misalnya buku “40 Hari setelah keguagalan G30S” diterbitkan militer 40 hari setelah kejadian itu berlangsung.

Sementara itu, buku putih Sekneg “Pemberontakan G30S/PKI terbit tahun 1995. Di lain pihak gebrakan menulis ulang sejarah yang satu paket dengan pengangkatan pahlawan nasional dilakukan dalam satu tahun pemerintahan Prabowo.

Mengapa demikian terburu-buru? Jawabnya tentu sudah bisa diduga. Soeharto menerima kekuasaan melalui Supersemar 11 Maret 1966 baru berusia 45 tahun. Sementara itu Prabowo kini berumur 74 tahun. Jadi perlu berkejaran dengan waktu, siapa tahu.