Perwakilan Perempuan di DPR Menurun

Seminar Perempuan Dalam Pusaran Pemilu: Antara Politik Identitas dan Politik Uang digelar di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis 16 Mei 2019. [Foto UGM | Rienews]

“Perempuan susah untuk berkompetisi dengan sistem terbuka. Karenanya menjadi PR bagi pemerintah bagaimana mendorong perempuan berkompetisi dalam sistem terbuka. Ini harus dipikirkan lagi,” kata Amalinda.

Menurtnya, peluang perempuan merebut kursi perwakilan dalam parlemen tidak hanya sebatas jumlah kursi. Namun harus berbasis pada konten kebijakan yang dapat melindungi kelompok perempuan.

“Orientasi pada kebijakan berbaiss pada idiologi nilai universal liberal vs partikular,” imbuhnya.

Sementara itu, Inisiator Desa Anti Politik Uang Desa Sardonoharjo Ngaglik-Sleman, Wasingatu Zakiyah, memaparkan tentang pengalaman dalam mendampingi caleg perempuan.

Dia mengungkapkan bahwa ruang sosial perempuan sangat banyak, tetapi tidak mampu menjadi penopang dalam meraup suara secara elektoral. Awal perempuan mengenalkan diri sebagai calon legislatif juga dinilai sangat terlambat.

“Ruang yang telah dibangun tidak memiliki kemampuan untuk menyokong suara,” ujar Zakiyah.

Beberapa perempuan memiliki artikulasi lemah untuk memahami program pembangunan secara umum. Konsep patron klien lebih dominan dalam upaya mengenalkan diri ke publik.

Tidak hanya itu, Zakiyah mengatakan, bahwa perempuan yang telah memiliki modal sosial tinggi ternyata belum tentu lolos karena keyakinan kelompok untuk menopang calon perempuan menjadi model elektoral tidak dimiliki oleh kelompok.

Sementara itu di ruang domestik, perempuan seringkali belum selesai dengan posisinya dan belum mampu berbagi dengan pasanganya. (Rep-02 | Rel)