Satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi momentum untuk meninjau ulang arah kebijakan publik, termasuk menerapkan aturan turunan dari PP 28 Tahun 2024. Peraturan Pemerintah ini melarang iklan, promosi, sponsor, dan penjualan rokok eceran, tetapi lebih dari setahun sejak disahkan, implementasinya belum terlihat. Rokok masih dibanjiri promosi melalui acara musik, olahraga, dan kolaborasi kreatif dengan figur publik, sementara di media sosial, pemasaran terselubung menormalisasi konsumsi rokok di kalangan remaja. Di lapangan, penjualan rokok batangan tetap marak, bahkan di sekitar sekolah. Tanpa pengawasan tegas dan keberanian menindak pelanggaran, PP 28 hanya menjadi simbol kosong yang gagal melindungi generasi muda dan keluarga pra-sejahtera.
Secara tidak langsung, kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal maupun non-fiskal untuk pengendalian konsumsi rokok di Indonesia masih belum berjalan dan tidak dianggap serius oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran. Upaya masyarakat sipil untuk menyuarakan hal ini sebenarnya bukan hal baru. Berbagai organisasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan telah lebih dulu mengirimkan surat-surat permohonan perhatian kepada Presiden Republik Indonesia, menyerukan agar pemerintah konsisten melanjutkan langkah-langkah pengendalian tembakau. Surat-surat tersebut menegaskan pentingnya kebijakan cukai yang berpihak pada kesehatan publik dan perlindungan SDM generasi muda. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun tanggapan yang diterima.
Aksi pengiriman karangan bunga hari ini menjadi lanjutan dari suara yang diabaikan itu namun sayangnya sekitar tiga puluh karangan bunga yang dikirim ke kediaman Pak Prabowo sebagai simbol keprihatinan justru diturunkan hanya beberapa jam setelah tiba. Respons yang ironis, mengingat pemerintah tampak lebih terganggu oleh pesan di atas papan bunga dibanding oleh fakta bahwa jutaan anak masih bisa membeli rokok di depan sekolah tanpa pengawasan.
Perwakilan komunitas SOS, Tulus Abadi, menegaskan bahwa Pemerintah memiliki peluang penting untuk membalikkan arah.
“Presiden Prabowo memiliki kesempatan besar untuk memperbaiki arah ini dengan memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam kabinetnya, terutama di antara lembaga yang seharusnya melindungi rakyat, bukan melayani industri. Langkah Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan yang justru tunduk pada tekanan industri hanya memperdalam kekecewaan publik. Pemerintah semestinya menjadikan tahun kedua masa jabatan ini sebagai titik balik, yakni dengan menegakkan keberanian politik untuk menempatkan kesehatan di atas kepentingan ekonomi jangka pendek,” kata Tulus. (Rep-02)