Mendapat Catatan Kritis
Saat RUU Kesehatan yang juga disebut dengan RUU Omnibus Law Kesehatan itu masih digodok di Badan Legislasi (Baleg) DPR, telah mendapat kritikan dari Majelis Hukum dan Ham (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama tujuh lembaga profesi. Tujuh lembaga profesi tersebut adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Forum Peduli Kesehatan.
Ada 10 catatan kritis yang disampaikan pada Februari 2023 lalu. Beberapa diantaranya adalah metode Omnibus dalam penyusunan RUU Kesehatan telah dipergunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak pengaturan. Cara ini mengulang pola pengaturan dengan metode Omnibus, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penegembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Mengingat kerangka RUU Kesehatan dibuat dengan pola Omnibus Law, mengabaikan partisipasi publik serta tidak bersifat partisipatif dan menyalahi prosedur pemebentukan perundang-undangan, dikhawatirkan berpotensi terjadi disharmoni dan konfliktual dengan peraturan lain.
RUU Kesehatan dinilai bagian dari gerakan global liberalisasi di bidang kesehatan. Apabila dianggap sebagai hal yang tak dapat dihindari, tetap harus disikapi dengan berhati-hati dan tidak gegabah, agar tidak merugikan kepentingan bangsa, dan masyarakat selaku konsumen di bidang kesehatan.
RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan Independensi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sebelumnya diatur dalam UU BPJS. Semula BPJS bertanggung jawab kepada Presiden, nantinya bertanggung jawab kepada Presiden melalui Kementerian Kesehatan. Perubahan itu mengindikasikan upaya menjadikan BPJS sebagai instrumen birokrasi pemerintah sehingga bukan lagi sebagai Badan Hukum Publik Independen. Risikonya, pengelolaan dana BPJS dikhawatirkan tidak berjalan baik akibat ketidakmandirian lembaga tersebut dan berpotensi dimanfaatkan kepentingan politik pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Artikel lain
14 Media Alternatif Perempuan Perjuangkan Teknologi Digital Inklusif
12 Jenazah Korban Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Teridentifikasi
Pakar UGM: Solusi Tepat dan Cepat, Pindahkan Depo Pertamina Plumpang
RUU Kesehatan patut diwaspadai upaya melayani kepentingan bisnis oligarki tertentu yang sudah lama menguasai jaringan bisnis bidang kesehatan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat sebagai konsumen bidang kesehatan. UU itu diduga memberikan ruang besar kepada Menteri Kesehatan untuk dapat memberikan data kesehatan meskipun dengan alasan dan kewenangan khusus. Kewenangan itu berpotensi dapat digunakan industri bisnis kesehatan untuk memanfaatkan informasi tersebut bagi kepentingan industri obat dan peralatan kesehatan.
RUU Kesehatan akan mencabut UU Kesehatan beserta delapan UU lain yang mengatur soal profesi. Antara lain UU Profesi Dokter dan Dokter Gigi, Profesi Kebidanan, Profesi Keperawatan dan Profesi Tenaga Kesehatan. Artinya, RUU Kesehatan juga mengatur profesi kesehatan, tetapi tanpa melibatkan organisasi profesi yang ada. (Rep-04)
Sumber: Kementerian Kesehatan, Muhammadiyah