SENI  

Pameran Lukisan Laila Tifah Bertajuk “Sri”

Laila Tifah.

“Makanan yang enak-enak itu, mulai saya tinggalkan. Saya hanya bisa melukiskannya.” Itulah yang ia gambarkan dalam karya yang berjudul “Karbo”, “Di mana Bakcang”, dan “Sederhana”.

Ia pun menggantinya dengan konsumsi  buah dan sayur. Ini  terungkap pada karya “Ngerowot” dan “Hormat Waluh”. “Ngerowot itu, lelakunya kelelawar. Mereka tidur dengan bergantungan di pepohonan setelah malamnya kekenyangan memakan buah-buahan”.  tulis Nurjaman dalam katalog pameran.

Laila Tifah juga menjadikan ibunya sebagai inspirasi.

Ibunya, sosok  wong ndeso yang ingin hidup lebih baik dengan berbagai lelaku seperti  berpuasa, tirakat, termasuk melakukan ngebleng, tidak makan nasi selama beberapa hari. Dia ingat pesan ibu, seseorang yang menjauhi nasi, akan menjadi kuasa. Latar belakang keluarga ibunya yang sebagian besar berprofesi  sebagai bakul pasar, juga memicu idenya. Sejak kecil, dia terbiasa melihat bagaimana Mbokdhe (kakak ibunya) bekerja keras. Sejak subuh beranjak dari daerah Jejeran Bantul menuju pasar Ngasem, berdagang cemilan. Di mata Laila Tifah, sang ibu dan Mbokdenya adalah sosok “Sri” dalam hidup sehari-hari.

Kecemasan yang melanda Laila Tifah, menurut Nurjaman, telah menjadi titik yang memungkinkan   berkarya seni menjadi terapi terhadap persoalan mentalitas seseorang.

Nurjaman  meminjam pisau psikoanalisis Sigmund Freud, bahwa kreativitas adalah upaya untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh impuls biologis yang tidak terekspresikan, sehingga keinginan yang tidak terpenuhi menjadi kekuatan pendorong imajinasi.

Dalam proses kreatifnya kali ini, Laila Tifah tidak ingin mengeksploitasi diabetes yang bersemayam dalam tubuhnya, ke dalam karyanya. Dia tidak ingin memperlakukan dirinya obyek penderita. Dia ingin memperlihatkan perjuangannya, sekaligus cara dia untuk berdamai. Hidup berdampingan dengan penyakit itu. Sebagaimana mendiang ayahnya, sastrawan dan pelukis Nasjah Jamin yang hidup bersama diabetes selama  40 tahun.

“Maka yang paling mungkin untuk mengalihkan perhatiannya adalah merogoh isi batinnya yang paling dalam dengan berekspresi seni, karena yang dibutuhkan jiwanya adalah berdialog dengan seseorang yang bisa mengerti kondisi mentalitasnya,” tulis Nurjaman .

Itu sebabnya, lanjut Nurjaman, secara tidak sadar Laila Tifah  telah menciptakan tokoh sahabat imajiner, seseorang yang mencerminkan perempuan Jawa yang “pasrah sumarah”. Tokoh itulah yang selama ini diajaknya berdialog, seperti tergambar dalam lukisan berjudul “Sri Marwati”.

Selain itu, Laila Tifah juga memunculkan penghayatan atas identitas dirinya. Itu sebagaimana yang terlihat pada karya “Setengah Minang” (2015).  Di tubuhnya, memang mengalir darah Minang yang dititiskan sang ayah.

Dalam karya ini, Laila  menggambarkan sosok perempuan berkerudung, terbaring horisontal dalam balutan batik. Karya tiga panel dengan minyak di atas kanvas itu berlatar gelap, mengesankan pemandangan alam Minangkabau yang tersohor: Ngarai Sianok.

“Hanya rendang dan rumah gadang yang diketahuinya tentang Minang, yang selalu dibumbui khayalan indah dan perkasanya hamparan tebing Ngarai Sianok….” tulis Laila Tifah pada keterangan karyanya itu.

Meskipun  sangat personal, Laila Tifah tanpa canggung menyorot berbagai peristiwa sosial di negeri ini. Itu tergambar dalam “Teka-Teki Tiket” (2010) yang menggambarkan ketidakjelasan nasib tenaga kerja wanita, dan karya “Melawan Lupa” (2014) yang mengungkapkan kritikan terhadap peristiwa penembakan mahasiswa di jembatan Semanggi pada 1998.

Secara artistik menurut Nurjaman, karya-karya Laila Tifah senantiasa kekuatan garis. Mirip dengan garis-garis lukisan yang menggunakan pastel atau crayon. Garis-garis bersumber dari peraman masa kecilnya. Itu terjadi ketika Laila Tifah ketahuan mencomoti cat minyak milik bapaknya. Lalu oleh bapaknya, dia diberi crayon. Garis-garis itulah yang masih bisa kita saksikan sekarang.

Pameran tunggal “Sri” karya Laila Tifah dibuka pada 7 Februari dan baru terbuka untuk umum pada 8 -17 Februari 2021. (Rel)