RIENEWS.COM – Kemerdekaan Itu – untuk Fuad Muhammad Syafruddin
Kemerdekaan itu, Udin
Setangkai pena peninggalanmu, yang kami pakai untuk mengaduk secangkir kopi yang kami seduh pada jam lembur kami
Kemerdekaan itu
Kami yang betah berjaga bersama kata-kata yang kami hirup bersama secangkir kopi yang menguarkan harum darahmu
Kemerdekaan itu, Udin
Kata-kata yang menetes dari peninggalanmu yang kami pakai untuk mengaduk secangkir kopi yang kami seduh dan kami hirup pada jam ngantuk kami
Larik-larik puisi yang ditulis penyair Yogyakarta, Joko Pinurbo itu dibacakannya di selasar sisi timur perempatan Tugu Pal Putih alias Tugu Yogyakarta pada 16 Agustus 2016 malam silam. Tepuk tangan bergema dari deretan anak-anak muda yang duduk lesehan dan berdiri berkerumun di depan penampilan penyair tanpa panggung itu.
Puisi itu ditulis penyair yang akrab disapa Jokpin itu serba kilat, beberapa saat sebelum berangkat ke Tugu Pal Putih. Ia membacakannya untuk memperingati 20 tahun kematian wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin pada 16 Agustus 2016. Dan menjadikan kopi sebagai objek perantara untuk menulis puisi singkatnya.
“Kopi adalah sahabat bagi jurnalis dan penyair yang suka terjaga malam hari,” kata Jokpin yang khas dengan puisinya yang naratif, ironi refleksi diri, bahkan terkadang nakal.
Selasa malam itu, semestinya Jokpin berdiri di sana untuk menyampaikan orasi budaya. Tapi dia memilih untuk membaca puisi.
“Tak ada penyair yang berorasi dengan baik. Saya tampilkan orasi dengan puisi,” kata laki-laki berambut kelabu dan dibalut kaos hitam itu tanpa ada nada jumawa.
Itu adalah puisi keduanya tentang Udin. Setahun sebelumnya, tepatnya 17 Agustus 2016, Jokpin hadir untuk memperingati kematian Udin dengan membaca puisi juga. Puisinya agak panjang yang diberi judul “Ziarah Kubur”.
Kemerdekaan itu, Udin, harta dan cinta
yang harus kau tebus dengan kematianmu.
Kemerdekaan itu rubrik rindu
yang mewartakan kabar baik darimu.
Kemerdekaan itu kami yang berdiri di sekelilingmu
untuk memandang matamu yang bersih dan berani
Kematian tak memisahkan kau dengan kami,
para pewarta yang menyalakan kata
di lorong-lorong yang terjangkau cahaya.
Kematianmu telah membuka pintu yang terkunci
oleh tirani, oleh gentar dan takut kami.
Menulislah terus, Udin, menulislah
di kolom sunyi di relung hari dan hati kami.
Menulislah di sela lelah dan gundah kami.
Kematian tak memisahkan kau dengan kami
sebab pada tinta yang melumuri tangan kami
masih menyala merahmu, masih tercium darahmu.
Sama seperti puisi sebelumnya, Jokpin menuliskannya di atas kertas. Bedanya, ia membacakannya di depan kuburan Udin.
Saat itu Jokpin juga bilang, jikalau selalu diundang dalam peringatan kematian Udin saban tahun, tak menutup kemungkinan dia akan terus menulis puisi untuk Udin. Puisi-puisi itu akan disimpannya, direvisinya, untuk kelak diterbitkan dalam sebuah buku untuk mengenang Udin: wartawan yang tewas pada 16 Agustus 1996 setelah dianiaya pada 13 Agustus 1996.
Artikel lain
Lolos Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Tekuk Korsel Skor 11-10
Piala Asia U23 2024 Indonesia Vs Korsel, Optimis Mengukir Sejarah
Ini Daftar Pemenang Undian Nasional Tabungan Simpeda Periode Kedua Tahun 2024