Para pembicara juga menyoroti banyaknya program Corporate Social Responsibility (CSR) dan praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) di lapangan masih bersifat transaksional, tidak berkelanjutan, dan tidak menciptakan dampak jangka panjang bagi masyarakat.
Prof. Dody Prayogo menegaskan bahwa sustainability bukan konsep statis, melainkan proses dinamis yang menuntut keadilan sosial dan adaptasi berkelanjutan. Ia juga menyoroti kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan, khususnya dalam pengukuran dampak sosial dan tata kelola.
“Kita terlalu fokus mengukur dampak finansial dan lingkungan, padahal yang paling sulit, sekaligus paling penting, adalah dampak sosial dan perubahan perilaku,” ujarnya.
Di sisi lain, pembicara juga menyinggung pelaporan ESG yang rawan menjadi ajang greenwashing jika tidak disertai proses assurance dan pengukuran dampak sosial yang komprehensif. Hasilnya, keberlanjutan sering berhenti di level administratif yang diukur dari seberapa besar dana disalurkan, bukan seberapa besar perubahan yang diciptakan.
Untuk itu, persoalan tata kelola perusahaan dan kebutuhan akan kepemimpinan yang berorientasi pada tanggung jawab sosial menjadi sangat krusial di masa kini dan masa depan. Perlu adanya perubahan pola pikir bisnis agar dunia usaha tidak lagi melihat masyarakat sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai mitra dalam pembangunan berkelanjutan.
Untuk mencapai keberlanjutan yang sesungguhnya, Indonesia perlu meninggalkan pendekatan seremonial dan beralih pada penyelesaian masalah sosial yang sistemis. (Rep-02)






