Kedua, peniadaan fungsi pengawasan DPR dalam operasi militer. Salah satu ketentuan yang diubah oleh UU Nomor 3 Tahun 2025 adalah ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mendelegasikan pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP) kepada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, tanpa melibatkan DPR. Padahal, konstitusi secara tegas mengatur bahwa setiap pengerahan kekuatan militer harus melalui keputusan politik negara (Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945). Dengan pendelegasian tersebut, fungsi checks and balances DPR terhadap Presiden sebagai panglima tertinggi TNI menjadi terhapus.
Hal ini berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan dan menjauhkan mekanisme akuntabilitas sipil terhadap militer, yang merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi konstitusional.
Para pemohon menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca reformasi 1998.
Ketiga, pelanggaran prinsip supremasi sipil dan pemisahan fungsi sipil-militer. Pasal 47 ayat (1) UU TNI memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan pada lembaga-lembaga sipil seperti Kesekretariatan Presiden, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Kejaksaan RI. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, serta TAP MPR No. VII/MPR/2000, yang menegaskan bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer. Ketentuan ini menandai kemunduran serius reformasi TNI dengan melegalisasi secara ugal-ugalan Dwifungsi TNI. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi birokrasi sipil, tetapi juga terhadap profesionalisme militer itu sendiri, karena menciptakan tumpang tindih kewenangan, serta melemahkan independensi lembaga penegak hukum dan pemerintahan sipil.
Keempat, diskriminasi dan ketidakadilan struktural di tubuh TNI dengan diperpanjangnya usia pensiun para jenderal. Pasal 53 UU TNI memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun dengan kemungkinan perpanjangan dua kali. Perubahan ini menciptakan ketimpangan karier internal (career logjam) karena memperlambat regenerasi dan mempersempit peluang perwira muda untuk promosi jabatan. Kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada stagnasi struktural, tetapi juga melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Selain itu, perpanjangan usia pensiun tanpa dasar kebutuhan objektif organisasi menimbulkan diskriminasi vertikal antara perwira tinggi dan jenjang lainnya, serta menambah beban anggaran pertahanan tanpa memperkuat profesionalitas TNI. Koalisi menilai pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando.
Kelima, mandeknya reformasi peradilan militer. Pasal 74 UU TNI menunda penerapan Pasal 65 UU TNI, yang menegaskan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum untuk perkara pidana umum. Penundaan tersebut menyebabkan sistem peradilan militer masih memiliki kewenangan absolut atas seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, termasuk tindak pidana umum seperti pembunuhan, korupsi, atau kekerasan terhadap warga sipil. Kondisi ini menimbulkan impunitas dan pelanggaran terhadap prinsip equality before the law, serta melanggar Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kesamaan di hadapan hukum. Dengan tetap berlakunya UU Peradilan Militer 1997, prajurit TNI masih dapat diadili di bawah sistem internal militer, sehingga tidak ada jaminan independensi dan transparansi peradilan. Koalisi menilai hal ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam melaksanakan amanat TAP MPR No. VII/MPR/2000 yang menghendaki reformasi total peradilan militer.
Selain persoalan substansial dalam pasal-pasal di UU TNI itu, eksistensi UU TNI juga menunjukkan ketidakseriusan politik pemerintah dan DPR dalam melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan.
“Pasal-pasal bermasalah tersebut menunjukkan upaya rekonsolidasi kekuatan militer dengan memanipulasi hukum,” kata Arif.
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Medan). (Rep-02)






