Ada pun tujuh bentuk tindakan korupsi itu, pertama; melakukan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara. Selanjutnya gratifikasi jabatan, dan berlawanan dengan kewajibannya serta tidak melaporkan kepada KPK.
“Poin ketiga adalah penggelapan dalam jabatan, yakni pejabat penyelenggara negara melakukan penggelapan uang, memalsukan dokumen pemeriksaan administrasi, membantu membiarkan atau diri sendiri merusak bukti,” ujar Didik.
Bentuk korupsi keempat, menurut Didik, adalah benturan kepentingan dalam pengadaan. Yaitu pejabat penyelenggara negara dengan sengaja baik langsung atau tidak langsung turut serta dalam pengadaan barang yang diurusnya dalam suatu instansi atau perusahaan.
Kelima, tindak pidana korupsi yang harus dihindari adalah perbuatan curang. Tindakan curang oleh pemborong ahli bangunan, pengawas proyek, rekanan. Berikutnya (keenam), pemerasan di mana pejabat penyelenggara negara melakukan upaya memeras pihak terkait untuk memberikan sesuatu. Serta yang terakhir (ketujuh), upaya suap menyuap dari-kepada pejabat penyelenggara negara karena jabatan terkait kewenangannya.
Didik menegaskan, kasus tindak pidana korupsi yang paling besar berasal dari unsur suap. Kemudian kasus pada pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggaran dalam hal perizinan dan sebagainya.
“Kita juga bisa memahami fungsi dan kegunaan MCP, karena sebenarnya ini adalah tolak ukur keseriusan pemerintah daerah dalam upaya mencegah tindak pidana korupsi sejak dini dan yang paling penting adalah implementasinya,” pungkas Didik.
Bupati Karo Cory Sebayang mengapresiasi kegiatan program MCP oleh KPK bertujuan pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan terselenggaranya kegiatan tersebut, Cory berharap makin kuatnya komitmen penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. (Rep-01)






