Pesan Bupati Karo di HUT ke-30 Yayasan Disabilitas Alpha Omega
“Namun dari sekian banyak berita dirasa masih belum inklusif. Baik dari sisi pemilihan kata, isu, maupun pemilihan angle. Cenderung mengandung sensasional, belas kasih dan sebagainya. Artinya, belum banyak berita yang memuat nilai memberdayakan,” katanya.
Menurutnya, tidak jarang media memberitakan disabilitas secara heroik. Misalnya, ada berita orang dengan kaki diamputasi bisa menaklukkan Gunung Everest. “Seorang Tuna Netra Juarai Ajang Tarik Suara Dunia” dan seterusnya.
“Jangankan, disabilitas, teman-teman nondisabilitas pun tidak banyak yang bisa melakukan itu. Ini sebetulnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan disabilitas. Yang terjadi justru glorifikasi. Ini kontraproduktif, semua orang akan menuntut bahwa semua disabilitas juga bisa melakukan itu. Padahal setiap orang punya kemampuan berbeda. Ini sering diabaikan,” kata Sholih Muhdlor.
Berita bermuatan “heroisme” cenderung lebih ditonjolkan, sedangkan isu lain yang mengangkat martabat disabilitas cenderung sedikit tersentuh media. Misalnya, pekan olahraga disabilitas nasional maupun daerah, termasuk atlet disabilitas belum banyak pemberitaan.
“Ada pemberitaan pun masih sebatas ajang disabilitas menunjukkan kemampuan, belum sampai pada tahap pemberdayaan. Termasuk terkait kekerasan terhadap penyandang disabilitas cenderung tenggelam,” katanya.
Sejauh ini, lanjut Sholih, negara telah mulai hadir. Regulasi baik level nasional, provinsi, kabupaten maupun kota, telah mulai melibatkan disabilitas. “Namun pemenuhan hak dan perlindungan disabilitas belum klir dalam memberikan pelayanan secara inklusif dengan mengedepankan martabat,” ujarnya.
Artikel lain
Yogyakarta Supplier Penting Benih Ikan Air Tawar
Komjen Fadil Imran Pimpin Operasi Mantap Brata Pengamanan Pemilu 2024
Investigasi Ombudsman, Warga Pulau Rempang Tetap Menolak Relokasi
Dalam diskusi tersebut juga mendengarkan penjelasan narasumber dari Dewan Pers dan jurnalis Tempo, Cheta Nilawaty Prasetyaningrum. (Rep-02)






