RIENEWS.COM – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) meninjau ulang delik pidana obstruction of justice atau merintangi dan menghalangi proses hukum yang dikenakan terhadap jurnalis Tian Bahtiar (Direktur Pemberitaan JakTV).
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida mengatakan, publikasi pemberitaan media yang dinilai oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya.
“Penghalangan proses hukum (obstruction of justice) harus merupakan tindakan secara langsung, material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan,” kata Nany.
Nany menegaskan, pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
“Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” ungkap Nany dalam siaran pers KKJ pada Rabu, 23 April 2025.
Kejaksaan Agung dalam siaran persnya menetapkan tiga tersangka, yaitu advokat Junaedi Saibih (JS) dan Marcela Santoso (MS) serta Tian Bahtiar (TB) Direktur Pemberitaan Jak TV.
Kejagung menyatakan, para tersangka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kejagung menilai bahwa para tersangka berupaya membuat narasi negatif melalui publikasi sejumlah berita untuk mengganggu konsentrasi penyidik. Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dalam siaran pers tersebut, Kejagung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan oleh Perusahaan Media Jak TV sebagai alat bukti yang disita. Sejumlah konten publikasi pemberitaan tersebut telah dihapus dan sudah tidak dapat diakses oleh Publik.
Koordinator KKJ, Erick Tanjung menyampaikan, konten publikasi yang dimaksud sebagai alat bukti harus bisa diakses publik dan pihak-pihak terkait seperti Dewan Pers agar dapat dinilai apakah konten tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau kritik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Dia menyebutkan, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memiliki mekanisme penyelesaian sengketa Pers yang harus dilakukan melalui Dewan Pers.
“Ketentuan ini bahkan juga tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia NOMOR: 01 /DP/MoU/II/2019 NOMOR: KEP.040/A/JA/02/2019 tentang Koordinasi Dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, Dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam ketentuan Pasal 2 meliputi kerjasama dalam kegiatan: a) Koordinasi, komunikasi, dan konsultasi dalam mendukung bidang Penegakkan hukum dan perlindungan kemerdekaan Pers; b) Pemberian keterangan Ahli dari Dewan Pers,” ujar Erick.
Dalam MoU tersebut memandatkan institusi Kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice.
“Dewan Pers nantinya akan mengeluarkan penilaian terhadap muatan keseluruhan konten artikel pemberitaan tersebut, dan dapat memberikan petunjuk kepada aparat penegak hukum perihal indikasi pelanggaran etik atau pelanggaran Pidana dalam proses dan muatan penyusunan berita yang disita sebagai alat bukti tersebut,” kata Erick.
Artikel lain
Kejagung Tangkap Ketua PN Jakarta Selatan Kasus Suap Hakim Rp60 Miliar
Pertimbangkan UU Pers Hakim Vonis Penganiaya Jurnalis di Aceh 10 Bulan Penjara
Kasus Suap Hakim Rp60 Miliar, Tiga Hakim PN Jakpus Jadi Tersangka