Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran

Gedung DPR RI. Foto dpr.go.id.
Gedung DPR RI. Foto dpr.go.id.

Kedua, bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip good governance. Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.

Ketiga, konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower). Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil, tidak sedikit kasus yang terungkap bersumber dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis. Meski ada beberapa kanal whistleblower, namun masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, seperti Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan IndonesiaLeaks yang juga jadi bentuk pengawasan terhadap kebijakan maupun pejabat publik.

Keempat, pelarangan menerbitkan liputan investigasi jurnalistik eksklusif akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi. Data dan informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya. Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif kerap kali bisa mengungkap aspek yang tidak terpantau, sehingga jadi trigger bagi penegak hukum menuntaskan kasus tersebut.

Kelima, SIS dalam RUU Penyiaran soal liputan penyidikan dapat menghambat pencegahan korupsi. Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekedar pemberitaan. Namun lebih dari itu, karya tersebut juga merupakan bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik. Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.

Keenam, ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan peraturan lain khususnya yang mencakup Undang-Undang Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers. Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Ketujuh, RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dengan adanya larangan eksklusif laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsi sebagai pengontrol kekuasaan.

Kedelapan, ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman definisi demokrasi di Indonesia. Hal ini karena investigasi jurnalisme adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi– untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Melarang menyajikan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis.

Artikel lain

Ini Sekolah Kedinasan 2024 Pendaftaran 15 Mei hingga 13 Juni

Kemenag Tegur Keras Garuda, 450 Calon Jemaah Haji Gowa Gagal Berangkat

Menanti Destinasi Wisata Historical Trail of Joglosemar

Berdasarkan hal di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR dan Presiden untuk: Menghentikan pembahasan RUU Penyuaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi;Menghapus pasal–pasal yang berpotensi multitafsir, membatasi kebebasan sipil, dan tumpang tindih dengan UU lain; Membuka partisipasi ruang-ruang bermakna dalam proses penyusunan RUU dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya; Penggunaan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. (Rep-02)