RIENEWS.COM – Delapan pemohon mengajukan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi. Kedelapan pemohon uji materil UU TNI Tahun 2025 itu didampingi puluhan advokat dan pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Arif Maulana dari YLBHI, menjelaskan, permohonan uji materil UU TNI 2025, ke Mahkamah Konstitusi ini merupakan bentuk keberlanjutan gerakan masyarakat sipil untuk menolak perluasan jabatan militer di ranah sipil, impunitas TNI, dan perpanjangan masa pensiun jenderal TNI yang berakibat buruk bagi organisasi TNI itu sendiri.
“Undang-undang TNI tidak hanya mengabaikan partisipasi publik, tetapi juga memperkuat pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil,” kata Arif dalam siaran pers Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Para Pemohon uji materil UU TNI 2025 terdiri dari lima organisasi yang aktif melakukan kerja advokasi HAM dan demokrasi serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, yakni Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan LBH APIK Jakarta. Selain pemohon organisasi terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute, mahasiswa UGM, M. Adli Wafi dan M. Kevin Setio Haryanto.
Koalisi memandang UU TNI mengandung banyak permasalahan mulai dari segi pembentukan hingga substansi yang termuat di dalamnya. Oleh karena itu, permohonan menyasar pasal-pasal bermasalah di dalam UU TNI.
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan membeberkan pasal-pasal bermasalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pertama, adanya pelanggaran prinsip kebebasan sipil dan kepastian hukum. Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU TNI memberi kewenangan kepada TNI untuk “membantu mengatasi pemogokan dan konflik komunal” dalam operasi militer selain perang. Ketentuan ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hak untuk melakukan pemogokan diakui sebagai bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi dan Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, yang telah diratifikasi Indonesia. Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara.
Selain itu, frasa “konflik komunal” dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagaimana dilarang oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan membuka peluang penyalahgunaan kekuatan bersenjata dalam urusan yang seharusnya ditangani aparat sipil dan hukum.
Lebih lanjut Tim Advokasi menyatakan, karetnya definisi dan ruang lingkup dari frasa “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15, akan membuka ruang keterlibatan militer dalam urusan dan pengelolaan ancaman keamanan siber, khususnya yang berkaitan dengan ancaman yang mencakup aspek teknis keamanan siber, penegakan hukum kejahatan siber, dan aspek lainnya yang masuk kualifikasi keamanan sipil, yang bukan merupakan bagian dari tugas pokok TNI.






