Memanfaatkan aset tanah desa, BUMDes Panggung Lestari menyulap lahan seluas 6 hektar berada di sisi Jalan Ringroad Selatan, No 93, Glugo, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menjadi Kampoeng Mataram, spot destinasi edukas wisata dan kuliner. Pengunjung berasa dari banyak wilayah di Indonesia hingga wisatawan asing.
Di sini, pengunjung bisa menikmati panorama perdesaan. Ada petakan sawah dan empang. Untuk kulinernya, Kampoeng Mataram menyajikan menu makanan rumahan dan penganan tradisional, disajikan ala prasmanan.
Memasuki Kampoeng Mataram, Anda disambut gerbang bambu melengkung. Bangunan di area wisata edukasi dan kuliner ini didirikan dari material kayu dan bambu, berarsitektur khas Jawa, joglo limasan.
Dalam mengelola Kampoeng Mataram, BUMDes Panggung Lestari mempekerjakan warga desa, dari usia muda hingga yang sudah berusia tua. Untuk pasokan bahan-bahan yang diolah menjadi sajian di Kampoeng Mataram, pengelola lebih mengutamakan pasokan dari warga, contohnya pisang. BUMDes Panggung Lestari lebih mengutamakan membeli pisang milik warga dari pada membeli, mendapatkan pasokan dari pasar.
Di unit usaha lainnya, BUMDes Panggung Lestari memanfaatkan potensi warga Desa Panggungharjo. Seperti unit usaha BUMDes Panggung Lestari di sektor minyak nabati, BUMDes melalui perusahaan yang didirikan, membeli minyak bekas pakai, jelantah dari warga, dihargai Rp3.000/liter. Di bidang pertanian, BUMDes Panggung Lestari membeli hasil pertanian warga desa lalu diolah menjadi produk dengan brand Bestari.
Kesuksesan BUMDes Panggung Lestari, menurut Eko, berprinsip transparansi dan akuntabel dalam menjalankan usaha. Hal tersebut melahirkan reputasi. Seperti saat ini.
Hal penting lainnya, keberadaan BUMDes Panggung Lestari berperan terhadap tiga aspek; ekonomi, sosial dan politik.
“BUMDes Panggung Lestari, di samping mencari sumber-sumber ekonomi, juga berperan (sosial) untuk mengurangi pengangguran, mestinya hal ini domain negara yang kita ambilalih. Secara politik, BUMDes ikut berperan dalam pengembangan ekonomi (kepada) stakeholder,” katanya.
Terhitung hingga saat ini, BUMDes Panggung Lestari telah mempekerjakan 98 warga desa dengan gaji terendah Rp1,8 juta. Nominal gaji yang diberikan BUMDes Panggung Lestari, Eko mengklaim di atas upah minimum regional (UMR).
“Kami memiliki 98 tenaga kerja yang digaji di atas UMR,” sebut Eko.
Menurut Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Profesor Purwo Santoso, suksesnya BUMDes Panggung Lestari karena mampu bertransformasi, memiliki inovatif dan solidaritas dalam ekonomi kerakyatan.
“Desa Panggungharjo pelaku ekonomi kerakyatan. Transformasi dan inovatif itu penting, bagaimana perbaiki masyarkat dengan zero rupiah, menjadi volunteer mencari volunteer tercipta solidaritas,” katanya.
Desa-desa yang gagal membangun BUMDes, Purwo mengemukakan karena kecacatan nalar terhadap anggaran, dana desa.
“Nalarnya adalah belanja bukan pemberdayaan ekonomi melalui jalur usaha. Sehingga ketika dana desa diturunkan lalu salah satu alamatnya itu BUMDes, tapi BUMDes nalarnya belanja bukan nalar usaha. Dan kalau itu terjadi, kolaps. Ya, sudah bisa ditebak dari awal, wong logika dasarnya gak ada yang ubah,” ungkap Purwo.
Di sisi lain, Purwo mengritisi Undang-Undang Desa. Menurut dia, undang-undang tersebut tidak ealistis untuk seluruh Indonesia, karena variasi desa-desa di Indonesia sudah different (berbeda).Dia mendorong pemerintah di kabupaten mencari desain yang sesuai konteks, dan membuka ruang agar kedaulatan desa terjaga.
“Selama ini kan, ganti kata-kata dalam undang-undang, perubahan isi kertas bukan cara berpikir. Makanya tadi saya katakan, pijit urut nalar sehat,” ujarnya.
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Istianto Ari Wibowo mengemukakan, suksesnya suatu BUMDes karena adanya partisipatif warganya. Memantik partisipasi warga, elit di pemerintah desa mau turun dan mendengarkan masyarakat.
Di sisi lain, dalam pengelolaan usaha BUMDes harus memahami lebih dahulu karakteristik dan persoalan di daerah tersebut. Meniru usaha-usaha BUMDes yang sukses di suatu daerah dan dijadikan rujukan membentuk usaha-usaha serupa di daerahnya, bisa tidak berjalan dikarenakan adanya perbedaaan.
“Studi banding ke daerah yang sukses, belum tentu dapat diterapkan karena perbedaan permasalahan di daerah (desa),” kata Istianto.
Chandra Firmantoko dari ASEC menegaskan, di Eropa saat ini tengah bangkit ekonomi kerakyatan (solidarity economy). Di Indoensia bentuk ekonomi kerakyatan telah lama ada, Desa Panggungharjo yang berhasil menghimpun sumberdayanya dan mengelolanya secara bersama-sama sehingga menjadi desa yang maju.
Alasan itu pula, acara International Conference on Transformative Economy 2019, digelar pada 12-13 November 2019, dibuka di Desa Panggungharjo, dengan peserta dari Indonesia, Malaysia, Filipina, India, Sri Lanka, Hongkong dan Thailand.
“Desa Panggung Harjo, Sewo, Bantul, sebagai contoh ekonomi kerakyatan. Di Eropa dan Amerika Selatan saat ini ekonomi kerakyataan dengan konsep dan teori, ada konsep dan teori,” ujarnya.
PBB di tahun 2000 mengakomodasi program Millenium Development Goals (MDGs) sebagai pandungan bagi negara-negara di dunia menerapkan pembangunan yang tidak berfokus pada pertumbuhan dan sektor ekonomi namun juga sosial, lingkungan dan sektor lainnya.
“MDGs ini kemudian diperbarui dengan dikeluarkannya Sustanaible Development Goals (SDGs) tahun 2015 yang berisi 17 tujuan dengan 169 indikator,” katanya. (Rep-02)