Meliput ‘Srikandi’ Pendidik di Perbatasan Negeri

Jalan sempit yang digenangi air, musti ditempuh menuju SDN 18, Desa Sungai Dungun, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. [Foto HAD|Rienews.com]

 

Jalan sempit yang digenangi air, musti ditempuh menuju SDN 18, Desa Sungai Dungun, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. [Foto HAD|Rienews.com]

air dari laut naik ke jalan, air dari gunung turun juga ke jalan, belum lagi ancaman hadangan buaya 

RIENEWS.COM – MEREKA  mengabdikan diri di daerah pelosok, Negara Indonesia berbatasan dengan Negeri Malaysia. Berjibaku dengan jalan berlumpur, menghindari ancaman binatang predator, buaya.

Semua itu dilakukan sebagai bentuk pengabdian mereka kepada generasi penerus bangsa Indonesia, kelak.

Begitulah potret keseharian tiga ‘Srikandi’ pendidik di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.

KLIK: Ini Pesan Bupati Karo Kepada Ketua DPC Gerindra

“Kami bertiga, saya, ibu Titin, dan ibu Siti setiap hari pergi-pulang dari Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, untuk mengajar di SDN 18 Desa Sungai Dungun, Kecamatan Paloh,” tutur Rubiah, 34 tahun.

Mewakili dua sejawatnya, Rubiah menuturkan mereka melintasi jalur menuju sekolah dengan kondisi berat, saban hari.

“Kondisi jalannya tak terbayangkan,” sebut dia.

Kondisi jalan yang berat, sama sekali tidak menyurutkan semangat ketiganya  mengajarkan ilmu kepada para murid.


Kondisi jalan yang ditempuh Rubiah dan kawan-kawannya menuju SDN 18, Desa Sungai Dungun, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. [Foto HAD|Rienews.com]
“Kami tidak bisa lewat jalan utama yaitu Jalan Desa Sungai Dungun, karena kondisinya sangat parah, ada banjir yang tak bisa dilewati, air dari laut naik ke jalan, air dari gunung turun juga ke jalan, belum lagi ancaman hadangan buaya yang naik akibat banjir. Banyak kambing warga yang hilang, kami tak mau jadi santapannya,” kata Rubiah.

Sebagai guru, tanggungjawab, mereka mengabaikan medan bahayai tersebut.Rubiah, Titin, dan Siti mengambil inisiatif melewati jalan lereng bukit.

“Kami harus tetap mengajar, bagaimanapun caranya. Kami memutuskan untuk melewati jalan alternatif yang terletak di kaki bukit, sedikit lebih baik dan bisa dilewati, meskipun jalan tersebut juga terkadang becek dan banjir,” sebut dia.

Mereka tak punya pilihan lain, saban hari, pergi-pulang usai mengajar anak muridnya, melintasi jalur berbahaya itu. Terlintas solusi mengatasi kondisi tersebut, menginap di sekitaran sekolah.