Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan gagasan ini menjadi dominan dan menjelam menjadi doksa jurnalisme baru. Merobohkan pagar api yang menyebabkan redaksi menjadi perpanjangan tangan bagian iklan adalah sesuatu yang absah, wajar, normal, dan benar.
“Buku ini ditulis dengan semangat membunyikan lonceng peringatan atau tanda bahaya bagi jurnalisme di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu Direktur Sekolah Jurnalisme SK Trimurti, Furqon Ulya Himawan atau Yayak mengatakan, diskusi buku ini bertujuan untuk mengingatkan kembali para jurnalis, terutama yang memegang kebijakan redaksi agar tetap menjaga pagar api. Apalagi dalam situasi pemilu kepala daerah yang biasanya dianggap sebagai masa panen bagi media massa untuk menjaring iklan politik.
“Pagar api itu harus dijaga, bukan diruntuhkan. Para awak redaksi harus sadar bahwa mesyarakat selalu mengawal persoalan ini,” ujar Yayak.
Ia juga mengingatkan Dewan Pers sudah mengeluarkan surat edaran soal independensi jurnalis dan pemuatan iklan politik. Sayangnya, seruan ini tidak dijalankan dengan serius, sehingga media massa tampak memihak kepada yang “membayarnya” atau memberi iklan.
Yayak mengatakan sebaiknya para jurnalis kembali menengok kepada kode etik jurnalistik. Jurnalis itu mengabdi kepada kepentingan publik, untuk menjaga marwah demokrasi bukan kepentigan ekonomi.
Ia menyadari media massa memang sedang berada dalam situasi sulit karena kue iklan lari ke influencer dan media sosial. Tetapi jalan keluarnya bukan dengan menghancurkan prinsip medasar dalam jurnalisme.
“Negara harus membuat kebijakan untuk menjaga independensi media massa karena ini untuk menjaga nilai-nilai demokrasi. Salah satunya adalah bagaimana agar pembagian iklan kepada influencer bisa dibatasi,” tegasnya.
Artikel lain
Letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki di NTT Menewaskan 10 Orang
Berantas Judi Online Polri Terima Apresiasi Berbagai Pihak
Penyidikan Vonis Bebas Ronald Tannur Kejagung Sita Uang Tunai Hampir Rp1 Triliun
Diskusi buku menghadirkan Masduki, Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme UII dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Nugroho Nurcahyo. Diskusi dipandu Pito Agustin Rudiana, jurnalis Tempo. Acara ini dihadiri para dosen komunikasi, jurnalis, dan para aktivis. (Rel)