Diskusi Jurnalisme Membahas Buku ‘Runtuh Dari Dalam’

Kiri ke kanan: Nanang Krisdinanto (penulis buku), Masduki (Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme UII, Nugroho Nurcahyo (Wapemred Harian Jogja, Pito Agustin Rudiana dalam diskusi jurnalisme membahas buku Runtuh Dari Dalam ditulis oleh Nanang. Foto Abdul Haris/AJI Yogyakarta.
Kiri ke kanan: Nanang Krisdinanto (penulis buku), Masduki (Guru Besar Kajian Media dan Jurnalisme UII, Nugroho Nurcahyo (Wapemred Harian Jogja, Pito Agustin Rudiana dalam diskusi jurnalisme membahas buku Runtuh Dari Dalam ditulis oleh Nanang. Foto Abdul Haris/AJI Yogyakarta.

RIENEWS.COM – Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Nanang Krisdinanto menilai arena jurnalistik terus kehilangan otonominya di hadapan arena ekonomi dan politik karena komersialisasi. Ketika iklan semakin sulit didapatkan, jurnalisme dalam era digital telah “berkhianat” karena lebih mengutamakan keuntungan ekonomis daripada mengedepankan kewajibannya menceritakan kebenaran.

“Garis pagar api yang memisahkan redaksi dan bisnis secara tegas sudah tidak dihormati lagi. Ironisnya itu dilakukan sendiri oleh para jurnalis dengan berbagai cara,” ujar Nanang.

Nanang mengungkapkan ini saat membahas bukunya yang berjudul Runtuh Dari Dalam, Serangan Komersialisasi terhadap Pagar Api Jurnalistik di Indonesia yang berlangsung di Auditorum FPSB Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, pada Senin, 4 November 2024.

Diskusi ini diselenggarakan Sekolah Jurnalisme SK Trimurti, AJI Yogyakarta, Marjin Kiri, dan Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Buku terbitan Marjin Kiri ini adalah disertasi Nanang saat ia menempuh Program Studi S3 Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (2018).

Nanang mengunakan konsep habitus, modal, arena dan praksis dari filsuf asal Prancis, Pierre Bourdieu untuk melihat dinamika hubungan yang rumit antara redaksi dan iklan.

Mantan jurnalis ini meneliti beberapa media massa di Jawa Timur. Dari pengamatannya itu, ia menemukan awak redaksi telah merobohkan pagar api yang memisahkan otonomi redaksi dengan bagian iklan, demi untuk mendapatkan pemasukan dari iklan. Walaupun hanya di Surabaya, Nanang meyakini hasilnya bisa digunakan untuk melihat fenomena besar yang tengah terjadi dalam dunia jurnalisme.

Ketika pagar api ini runtuh, otonomi redaksi tidak bisa dipertahankan karena harus membuat kebijakan pemberitaan yang menguntungkan secara finansial. Media massa tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik tetapi kepada keuntungan ekonomi.

Contoh runtuhnya pagar api itu adalah “menjual halaman”, iklan yang dikemas dalam bentuk berita, jurnalis diminta mencari iklan, kinerja jurnalis diukur dari iklan yang bisa digaet, dan kontrol ketat terhadap jurnalis (panopticon) agar tidak membuat berita yang kritis.

“Yang paling mengkhawatirkan, praktik meruntuhkan pagar api jurnalistik itu dijalankan jurnalis dengan kesadaran bahwa mereka melakukan sesuatu yang normal dan benar,” tandas Nanang.

Artikel lain

KKJ Indonesia: Usut Tuntas Kasus Perusakan Mobil Jurnalis Tempo

Aksi Massa Se-Jagad di Yogyakarta Menggugat dan Adili Jokowi

Hari Kebebasan Pers Sedunia 2024, UNESCO Nobatkan Jurnalis Palestina Raih Penghargaan Guillermo Cano