“Oleh karena itu, kebijakan perpajakan ini tidak hanya gagal mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, tetapi juga mengabaikan kerentanan serta beban ganda yang dihadapi oleh perempuan dan penyandang disabilitas,” kata Nena Hutahaean.
Judianto Simanjuntak kuasa hukum lainnya, menegaskan, terbitnya dua Peraturan Menteri Keuangan tidak menjawab persoalan terkait perpajakan. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 131 Tahun 2024 mengatur bahwa hanya barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai mengatur bahwa nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak.
“Ketidakpastian hukum atas keberadaan dua Peraturan Menteri Keuangan RI ini adalah karena perubahan Undang-Undang hanya hanya bisa dilakukan melalui Penerbitan Peraturan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau melalui revisi Undang-Undang. Lagi pula dari segi hirarki perundang-undangan, kedudukan UU HPP lebih tinggi dari Peraturan Menteri Keuangan RI tersebut. Dalam hal ini berlaku asas hukum yang menyatakan; peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” kata Judianto.
UU HPP memberikan kewenangan yang sangat luas dan diskresi kepada pemerintah untuk mengubah besaran tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP, akan tetapi Norma ini tidak disertai dengan indikator substantif yang jelas, seperti pertimbangan ekonomi, sosial, atau lingkungan.
Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Para Pemohon dan masyarakat secara umum karena sewaktu-waktu bisa berubah kapanpun tanpa ada indikator yang terukur dan jelas serta transparan dalam menentukan besaran penerapan nilai PPN.
“UU HPP ini juga mengatur Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Peraturan Pemerintah, pada hal Pasal 23A UUD 1945 menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan diatur dengan Undang-Undang berarti harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri,” ujar Judianto Simanjuntak.
Perwakilan para Pemohon, Fauzan Hakami menyampaikan, pengaturan kenaikan PPN 12 persen ini sangat memberikan beban berat bagi rakyat, karena akan berdampak pada kenaikan kenaikan harga, penurunan daya beli masyarakat, kenaikan biaya pendidikan, dan yang lain.
“Sementara pengaturan pajak terhadap konglomerat orang super kaya tidak diatur dalam ketentuan di Indonesia. Dengan kondisi ini pengaturan PPN 12 persen mengakibatkan ketidakadilan hukum di tengah iklim ekonomi Indonesia belum pulih,” katanya.
Fauzan menyatakan, dalam permohonan uji materiil UU HPP ini, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan; menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir.
Menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) sebagai “frasa” tarif pajak pertambahan nilai berdasarkan indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan;
Menyatakan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) sebagai “frasa” Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Undang-Undang.
Artikel lain
Jogja Memanggil Gelar Aksi Ruwat Ruweting Penguoso Durno
AVISI-AMSI Kolaborasi Lawan Pembajakan Konten di Industri Kreatif Media Digital
Amankan Mudik Lebaran 2025, Pemerintah Sediakan 2894 Pospam
Afif menyatakan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada 10 Maret 2025, hakim majelis Konstitusi memberikan saran dan masukan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan Uji Materiil UU HPP selama waktu 14 hari yaitu hingga 24 Maret 2025. (Rep-02)