Pertimbangkan UU Pers Hakim Vonis Penganiaya Jurnalis di Aceh 10 Bulan Penjara

Majelis hakim Pengadilan Negeri Meureudu, Pidie Jaya, dalam pembacaan putusannya mempertimbangkan UU Pers dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa kekerasan terhadap jurnalis. Foto KKJ Aceh.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Meureudu, Pidie Jaya, dalam pembacaan putusannya mempertimbangkan UU Pers dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa kekerasan terhadap jurnalis. Foto KKJ Aceh.

Rino mengungkapkan, setelah BAP dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan, hingga sampai ke persidangan, UU Pers tidak pernah disebutkan.

“Hal ini tentu amat sangat disayangkan. Faktanya, semua pihak yang terlibat di dalam persidangan mulai dari penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, saksi, majelis hakim bahkan terdakwa tidak menyangkal bahwa korban mengalami penganiayaan diakibatkan karena aktivitas jurnalistiknya. Dengan kata lain, fakta persidangan menyatakan bahwa kasus ini berkaitan erat dengan pelanggaran atas prinsip kebebasan pers seperti yang diatur dalam UU Pers, yang secara mengejutkan juga diakui oleh majelis hakim dalam pertimbangan dalam amar putusan,” kata Rino.

Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi UU Pers. Rino menegaskan, pelanggaran atas UU Pers (Pasal 18), pelaku dapat dijerat dengan hukuman pidana maksimal selama dua tahun penjara dan atau membayar denda paling banyak Rp500 juta.

“Pelaku seyogianya dijerat dengan pasal 351 ayat 1 KUHP juncto pasal 18 ayat 1 UU Pers,” katanya.

KKJ Aceh juga menyoroti upaya perdamaian, restorative justice (keadilan restoratif) yang difasilitasi kejaksaan, berakhir gagal. Rino mengatakan, upaya ini dapat dimaklumi, namun untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis, mekanisme ini tidak tepat. Ini mengingat dampak dari kekerasan terhadap jurnalis selaku pengusung amanah undang-undang serta daya hancur dari kekerasan terhadap jurnalis bagi demokrasi.

Menurut Rino, pihak kejaksaan sendiri dalam bertindak semestinya mengacu pada aturan internal, Pasal 4 ayat 1 Perja No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pasal ini menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan restoratove justice harus memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, dalam kasus ini ialah UU Pers.

Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim Arif Kurniawan sempat menawarkan kembali restorative justice, tetap ditolak korban, Ismed.

Artikel lain

Ungkap Kekerasan Seksual Dokter Kandungan MSF, Polres Garut Buka Hotline Pengaduan

Komisi VIII DPR Kritisi Konsep Sekolah Rakyat Kementerian Sosial

Puan Pertanyakan Rencana Kebijakan Prabowo Evakuasi Warga Palestina

“Andai saja upaya perdamaian dengan pendekatan restoratove justice berhasil, maka berpotensi menjadi yurispudensi dan mulai diterapkan pada kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya di Indonesia. Jika ini terjadi, maka UU Pers yang selama ini menjadi tumpuan bagi perlindungan kebebasan pers dan jurnalis akan kehilangan maknanya,” ungkap Rino. (Rep-02)