Peneliti Pers Perempuan Sumut, Lia Anggia Nasution menuturkan, pers perempuan di Sumut pada masa itu sudah terbilang revolusioner dan dan menyuarakan tentang feminisme.
Menurut Anggia, koran Perempoean Bergerak adalah koran yang paling revolusioner, yang dipimpin oleh Boetet Satidjah.
“Yang menarik dari koran ini, kalau kita bicara feminisme di 1919, Boetet sudah menulis feminisme. Di situ Boetet menulis, feminisme ini kita tujukan dengan jalan yang elok. Supaya pergerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat, agama nan elok itu jangan kita lampaui,” kata Anggi mengutip tulisan di media tersebut.
Surat kabar Perempoean Bergerak mendorong perempuan meraih pendidikan, bahkan mengritisi kaum laki-laki, saat itu, yang tidak mau menyekolahkan anaknya.
Artikel lain
Temuan Kasus Polio di Pidie, Kemenkes Targetkan Imunisasi Anak di Sumut Capai 95 Persen
Ini Sumber Gempa Turki dengan Korban Meninggal Mencapai Seribu Orang Lebih
Ini 9 Nama Anggota KPI Pusat 2022-2025 yang Disetujui DPR
Anggi menjelaskan, di masa itu perempuan hanya memiliki kekuatan melalui tulisan, dan pers bisa menjadi alat untuk mengubah nasib mereka.
“Karena perempuan pada masa itu belum punya hak politik, jadi kekuatannya itu dari menulis,” kata Anggi.
Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Uni Lubis mengatakan, semangat pers perempuan di masa lalu masih sangat relevan di masa sekarang.
Pers perempuan sekarang mesti belajar dari sejarah agar dapat lebih baik.
“Minimal dari spirit kita konsisten belajar dari sejarah dalam mensupport dan memastikan bahwa perspektif perempuan ini masuk ke dalam pemberitaan,” ujar Uni. (Rep-06)