Ternyata rasa cemasku terjawab sudah, seperti yang kutakuti akhirnya datang jua, dimana ayah dan ibuku bertengkar seperti ketakutanku sesaat di kamar tadi. Ya….. Asal mula detuman meriam, kelamnya malamku saat hujan tiba berasal dari rumahku sendiri.
Batinku meronta ingin melerai namun, aku tidak memiliki keberanian yang cukup. “Tidak bisakah kau menjauhi wanita jalang itu? Tidak bisakah kau memikirkan aku dan anak-anakmu?” Satu kalimat dari ibu yang membuat hatiku hancur.
***
Aku berlari kembali ke kamar menghempaskan diri di ruangan tersebut. Air mata ini tidak bisa kubendung, dengan derasnya mengalir seperti hujan yang turun saat itu. Menyadari kenyataan hidup yang tadinya indah kini sudah berubah kelam. Ayahku tidak lagi mencintai, menyayangi aku serta ibuku sepenuhnya. Ada wanita lain hadir diantara keluarga kami. Sesaat rasa dendam kepadaa ayah mengalir deras tidak bisa ku bendung lagi layaknya hujan membuat banjir perkampungan!.
“Cinta pertama sekaligus pahlawanku mengkhianatiku” fikiran itu tidak bisa aku hilangkan hingga saaat ini, hanya air mata yang setia menemani di malam itu, dimana lantai kamar mendekap diriku berselimutkan dinginnya malam itu hingga aku tertidur kembali.
Cauca masih sangat dingin dan hujan tak kunjung jua berhenti di jam 03.00 wib. Aku terbangun dan merasa kepalaku berat sekali. Ingin rasanya aku terlelap lagi namun, suara pertengkaran itu terdengar lagi. Aku tak memiliki keberanian untuk melihat langsung dan memilih untuk mengintip dari celah-celah pintu kamarku.
***
Mereka bukan hanya saling berteriak tapi ayah juga sudah ringan tangan menampar ibu, hingga berulang kali dan membuat bibir ibu berdarah. Ibu hanya diam dan pasrah. Tapi tidak dengan ku kali ini. Ku kumpulkan seluruh keberanian dan aku berlari menghampiri ibu, memeluknya, mengusap darahnya dan air matanya.
Ayah terus menampar ibu bahkan melemparkan semua benda yang ada disekitarnya ke arah ibu hingga ibu terduduk lemas dilantai. “Sudah yah sudah!!” teriakku sambil memohon mengehentikan semuanya dengan cara memeluk kaki ayahku. “Kamu masih anak kecil! Tidak usah ikut campur urusan orang tua!” bentak ayah sembari melepaskan kakinya dengan kasar. Lalu ayah membanting pintu dan mengunci kami dari luar.
Aku menghampiri ibu dan memapahnya ke kamarku. Kutidurkan wanita yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkanku ditempat tidurku. Aku memeluknya dan menangis dipelukannya. Dalam kondisi terlemahnya, ibuku masih sempat membelai dan mengelus rambutku. “Jangan sedih sayang. Air matamu tidak boleh menetes.” kata ibu terbata sambil menghapus air mataku.
Aku semakin mengeratkan pelukanku dan tangisanku semakin pecah. Disaat suasana haru menyelimuti aku dan ibuku, tiba-tiba ayah berteriak. “Kamu sudah bukan istriku lagi, lia! Kita cerai!” teriak ayah dari luar rumah.
Ayah mengulangi ucapannya hingga tiga kali. Ibu hanya diam, meskipun aku tahu hati ibu sangat tersakiti dengan keputusan ayah. Aku menangis sambil mengeratkan pelukanku dan berharap agar ibu lebih tenang.
Beberapa hari kemudian, ibu dan ayah resmi bercerai. Tidak ada waktu untuk kami bersama lagi dan aku mulai terbiasa dengan keadaan itu. Semenjak kejadian itu, aku seolah mati rasa, hingga membenci hujan! dan selalu menampilkan senyum palsu.

 
									




