Dikatakan, RUU TNI juga hendak merevisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), dan cukup diatur lebih lanjut dalam PP.
“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat dan akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri. Secara tersirat, perubahan Pasal ini merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNi dalam operasi militer selain perang”.
Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwi-fungsi TNI dan militerisme di Indonesia. Kami justru mendesak Pemerintah dan DPR untuk modernisasi alutsista serta meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI demi mewujudkan profesionalisme TNI kita sebagai alat pertahanan negara.
Petisi tokoh dan koalisi masyarakat Sipil, terdiri dari para tokoh, Nursyahbani Katjasungkana, Usman Hamid, Pdt. Ronald Richard Tapilatu, Rafendi Djamin, Al A’raf, Pdt. Penrad Siagian, KH Rakhmad Zailani Kiki.
Artikel lain
PHK Massal Pekerja Industri Tekstil, DPR Desak Pembatasan Impor China
Pasca Terungkap Korupsi Pertamina, DPR Soroti Gaji Direksi Mencapai Rp1 Miliar
Perempuan Nelayan Pulau Pari Gugat UU HPP Nomor 7/2021 ke MK
Koalisi masyarakat sipil, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Lembaga Peradaban Luhur (LPL). (Rep-02)