PEMILU  

PSHK UII: Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Kental Politis

Ketua MK Anwar Usman bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Panitera MK Muhidin saat Sidang pengucapan putusan uji materiil batas usia minimal capres-cawapres, Senin, 16 Oktober 2023, di ruang sidang MK. Foto Humas/Ifa.
Ketua MK Anwar Usman bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Panitera MK Muhidin saat Sidang pengucapan putusan uji materiil batas usia minimal capres-cawapres, Senin, 16 Oktober 2023, di ruang sidang MK. Foto Humas/Ifa.

RIENEWS.COM – Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) menilai putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 atas nama penggugat Almas Tsaqibbirru Re A, menyoal batas usia capres-cawapres pada pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kental dengan aspek politis.

Hal ini disampaikan peneliti PSHK UII, Yuniar Riza Hakiki dan Aprillia Wahyuningsih, merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia capres-cawapres dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023.

“Atas putusan tersebut, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai dan memberikan sikap akademik,” kata kedua peneliti PSHK UII itu dalam siaran pers pada Selasa, 17 Oktober 2023.

Atas putusan MK soal batas usia capres-cawapres, Yuniar Riza Hakiki dan Aprillia Wahyuningsih menguraikan sikap PSHK UII.

Pertama, aspek-aspek non-yudiris (politis) sangat jelas lebih kental menyelimuti perkara ini, dibanding aspek dan rasionalitas yuridis. Terbukti dari (1) substansi perkara berkaitan erat dengan pencalonan/pendaftaran calon Presiden dan calon Wakil Presiden Pemilu 2024; (2) rangkaian persidangan dalam beberapa perkara yang substansinya serupa, tetapi dalam waktu yang tidak berjauhan menghasilkan pendirian (amar putusan) MK yang berbeda; (3) nampak jelas “Gerbong Majelis Hakim MK” dalam memutus, sebagaimana diungkap jelas “Aib” persidangan perkara ini oleh Hakim yang mempunyai pendapat berbeda; (4) jelas ada konstelasi hakim yang berubah dalam waktu sekejap, padahal tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat; (5) dengan amar putusan yang ditegaskan “… pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, nampak salah satu tujuannya untuk kepentingan kelompok tertentu yang bakal cawapresnya sedang menduduki jabatan kepala daerah (baca: walikota);

Kedua, putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak konsisten dengan putusan dalam kasus serupa sebelumnya. Di satu sisi, dalam putusan-putusan sebelumnya MK bersikap persoalan ini menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), sekalipun ada Hakim yang berpendapat berbeda. Tetapi, di sisi lain, Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK justru mengambil sikap judicial activism dengan menafsirkan melalui ketentuan lain. Dengan inskonsistensi MK yang demikian, telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK.

Ketiga, tafsir MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat ekstensif dan ultra petita (melampaui yang dimohonkan). Petitum pemohon bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Pemohon menggunakan “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan.

Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official). Sedangkan, amar putusannya justru jauh menjadi “… atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Dengan begitu, Putusan tersebut telah menyebabkan MK “terjerembab” pada posisi positif legislator yang dominan dan rentan akan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan kehakiman).

Keempat, konstruksi hukum yang dibangun MK dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 sangat dangkal dan amat mudah dirobohkan, bahkan semestinya tidak executable. Terlihat dari tidak padunya antara amar putusan dengan pertimbangan yang dibangun oleh para Hakim.

Sebenarnya hakim yang memutus sesuai dan persis dengan amar putusan hanya tiga hakim. Di lain pihak terdapat tiga Hakim yang tegas menolak melalui pendapat berbeda (dissenting opinion), dan satu hakim menyatakan seharusnya perkara ini tidak dapat diterima (NO).

Sedangkan dua hakim yang juga dianggap mengabulkan sejatinya memiliki alasan berbeda (concuring opinion), yang pendapatnya tidak sama persis dengan tiga hakim yang mengabulkan. Sehingga, posisi 5 hakim yang mengabulkan permohonan, dua hakim di antaranya seolah sangat dipaksakan. Artinya, amar Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 pada dasarnya hanya dikabulkan oleh tiga hakim saja.

Artikel lain

Rektor UII Desak MK Tolak Pengubahan Sistem Pemilu 2024

Respons Denny Indrayana Usai Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Sistem Pemilu

KPU Rujuk RSPAD Gatot Subroto Cek Kesehatan Capres-Cawapres Pemilu 2024