Jaringan Gusdurian Tolak Revisi UU TNI

Lima sikap jaringan Gusdurian menolak Revisi UU TNI. Foto ilustrasi ylbhi.or.id.
Lima sikap jaringan Gusdurian menolak Revisi UU TNI. Foto ilustrasi ylbhi.or.id.

RIENEWS.COM – Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menyatakan, pembahasan Revisi UU TNI oleh Pemerintah dan DPR RI, dalam beberapa hari terakhir menuai protes dan kecaman dari masyarakat prodemokrasi. Meski menimbulkan gejolak, pembahasan Revisi UU TNI disebut sudah rampung dan akan dibawa dibawa ke tingkat II atau paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

“Ada banyak persoalan dalam agenda tersebut, mulai tidak adanya urgensi, diadakan di hotel mewah, hingga penjagaan oleh Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia disebut (Koopssus TNI), yang merupakan salah satu unit pasukan elite yang dibentuk untuk menangani aksi terorisme,” sebut Alissa Wahid.

Alissa Wahid mengatakan, “salah satu kekhawatiran terbesar adalah Revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang sudah dihapus di masa presiden KH Abdurrahman Wahid. Penghapusan Dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai bagian integral reformasi TNI”.

Di masa Orde Baru, dwifungsi ABRI diterjemahkan dalam tindakan masuknya tentara dalam segala sendi kehidupan. Dwifungsi ABRI menjadi alat untuk mencampuri urusan semua pihak tanpa terbendung lagi. Orang sipil seolah-olah tidak mempunyai hak sama sekali untuk menentukan segala sesuatu tanpa izin ABRI, seperti pemilihan lurah dan sebagainya.

“Masuknya ABRI untuk mengurusi semua bidang mematahkan inisiatif di bawah. Masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif karena akan dikalahkan alternatif dari militer. Hal ini merupakan praktik yang buruk dalam kehidupan berdemokrasi,” ungkap Alissa Wahid dalam siaran pers pada Rabu, 19 Maret 2025.

Dikatakannya, dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik. Hal ini dikarenakan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis.

“Dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata,” ujarnya.

Artikel lain

Kantor Kontras Diteror Pasca Interupsi Rapat RUU TNI DPR di Hotel Fairmont

Tiga Polisi di Lampung Tewas Ditembak, Kapolri Tetapkan Status Gugur, Puan Desak Usut Tuntas

Telkom Wujudkan Tanggung Jawab ESG di Desa Banyuasin Lewat Sobat Aksi BUMN 2025