Kekerasan Seksual di Sumut Meningkat Tiap Tahun

Diskusi publik bertema Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual digelar AII Medan bersama LBH APIK, Departemen Sosiologi FISIP USU, dan Sirkam, digelar di FISIP USU, Rabu 5 Desember 2018. [Foto Ist | Rienews]

Buruknya penanganan korban untuk mendapatkan akses kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Sistem hukum saat ini, dinilai tidak mampu memberikan keadilan bagi korban, tidak menjerakan pelaku, dan tidak menjamin kasus serupa tidak berulang

Berdasarkan data mitra Komnas Perempuan dari Forum Pengadalayanan, kasus kekerasan seksual yang dapat diproses hingga persidangan rata-rata hanya mencapai 10 persen. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan korban serta pelaksanaan kewajiban negara dalam menghapus kekerasan seksual.

Citra Hasan Nasution dari komunitas Sirkam juga menganggap bahwa landasan hukum yang ada belum cukup untuk memberi efek jera dan mencakup korban dari semua kalangan. Pengesahan RUU P-KS diharapkan bisa mengakomodir semua permasalahan di luar aturan hukum yang sudah ada tersebut.

“Kami ingin mengajak masyarakat agar sadar dan ikut bergerak bersama dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di muka bumi ini,” ujar Citra Hasan Nasution.

Beberapa hal penting dalam RUU P-KS yaitu: menempatkan korban sebagai subjek bukan sebagai objek sebagaimana selama ini, hukum acara yang lebih lengkap yang mengedepankan perspektif perempuan dan anak perempuan.

RUU PKS mengatur lebih detil mengenai bentuk-bentuk kasus kekerasan seksual seperti, pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual. (Red)