RIENEWS.COM – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana Uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Senin, 10 Maret 2025. Uji materiil UU HPP ini diajukan para Pemohon yang terdiri dari individu dan organisasi yang terdampak dari kebijakan PPN pemerintah.
Para Pemohon, Asmania (perempuan nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu), Fauzan Hakami, (mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta), Muhamad Agus Salim (mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta), Risnawati Utami (penyandang disabilitas), Rusin (pelaku usaha mikro di Kabupaten Bekasi), Warsiti (perempuan ojek daring), dan Yayasan Indonesian Mental Health Association(organisasi yang mewakili penyandang disabilitas psikososial).
Pemohon adalah kelompok yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif PPN, yang menyebabkan berkurangnya akses terhadap berbagai hak dan layanan yang seharusnya mereka peroleh.
Kuasa hukum para Pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) dan pengacara publik YLBHI, Afif Abdul Qoyim menyatakan pengajuan permohonan uji materiil UU HPP ke Mahkamah Konstitusi karena regulasi kenaikan PPN 12 persen masih tetap berlaku meski secara faktual Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri terkait rekayasa perhitungan matematis kenaikan PPN 12 persen yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU HPP
“Masih tetap berlakunya PPN 12 persen dalam UU HPP berpotensi menyulitkan ekonomi masyarakat dan memperberat daya beli masyarakat,” kata Afif.
Menurutnya, ini diperparah dengan ketentuan UU HPP yang menghapus jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yaitu jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri sebagaimana diatur dalam pasal pasal 4A ayat (3) UU HPP.
“Padahal sebelumnya Pasal 4A ayat (3) Huruf a Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak kena PPN atau sering disebut dengan Negative List objek PPN,” ungkap Afif dalam siaran pers TAUD-SKP, Rabu, 12 Maret 2025.
Afif menambahkan, dikeluarkannya jasa pelayanan kesehatan medis dari jenis jasa yang tidak dikenai PPN merupakan langkah mundur negara dalam pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan prinsip Progressive Realization (Realisasi Progresif) yang mewajibkan negara untuk secara aktif mengambil kebijakan yang mendukung realisasi pemenuhan hak secara maksimal berdasarkan sumber daya yang dimiliki.
Terkait dihapusnya jasa pelayanan pendidikan dari jenis jasa tertentu yang tidak dikenai PPN, kenaikan biaya pendidikan merupakan ancaman nyata sekaligus merupakan sebuah tindakan diskriminatif dan melanggar hak setiap warga negara untuk untuk bebas memilih pendidikan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginan mereka.
“Hal inilah yang dialami pemohon Fauzan Hakami dan Muhamad Agus Salim yang saat ini masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang tidak menutup kemungkinan tidak bisa melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi karena hal tersebut,” sebut Afif.
Kuasa hukum para pemohon yang juga aktivis perempuan, Novia Sari menjelaskan, keberadaan pasal-pasal ini tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan seperti kebutuhan akan higienitas dan nutrisi wajib ibu hamil.
“Salah satunya dialami pemohon Asmania, perempuan nelayan Pulau Pari, yang mengalami penurunan pendapatan akibat turunnya hasil tangkapan, dampak dari dari kerusakan lingkungan serta iklim yang disebabkan adanya perampasan ruang hidup oleh investasi atas nama pembangunan. Penerapan kebijakan PPN ini mengharuskannya lebih mengutamakan kebutuhan keluarga dibandingkan kebutuhan spesifiknya sebagai seorang perempuan,” ungkapnya.
Hal serupa juga disampaikan kuasa hukum para Pemohon, Nena Hutahaean, menyatakan bahwa kebijakan perpajakan saat ini tidak hanya mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan, tetapi juga sangat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas di Indonesia.
Mayoritas penyandang disabilitas tidak memiliki pekerjaan dan upah yang layak. Selain itu, dalam kesehariannya, mereka sudah sangat terbebani dengan extra cost of disability, yaitu biaya tambahan yang muncul untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka sebagai penyandang disabilitas. Biaya-biaya ini tidak dialami oleh individu non-disabilitas dan tidak dapat dikurangi karena berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup penyandang disabilitas.
Artikel lain
Seruan Jogja Memanggil, Batalkan PPN 12 Persen, Terapkan PPN 5 Persen
Koalisi Masyarakat Sipil: Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen
Mudik Gratis TelkomGroup Sediakan 35 Bus dan 3 Rute Kapal Laut