Hasil dari berproses selama 3 tahun, itu Syam melahirkan; 15 lukisan; video art (durasi) 1 menit 27 detik; 85 panel mix media on paper; meja kursi; dan mesin tik yang dipameran di Ruang Dalam Art House.
“Eksekusinya ada lukisan, video art, instalasi, ada penggalan kata-kata juga. Itu bukan puisi, aku menyebutnya penggalan kata-kata saja. Kuibaraatkan itu seperti ruang kerjaku, tempat aku muntah. Aku bisa menggambar, kolase, berkata-kata. Aku kerjakan dalam satu nafas, itu yang 85 panel,” tutur Syam.
Di luar karya yang dipamerankan itu, telah banyak lukisan karya Syam Terrajana dan terbilang prestisius. Seperti menyabet penghargaan pada perhelatan lukisan UOB 2019, pemenang ketiga lomba melukis Hari Kemerdekaan, Museum Popa Eyato, Gorontalo 2017. Juara pertama lomba melukis cerita rakyat Gorontalo, Museum Popa Eyato, Gorontalo 2016.
Syam Terrajana juga turut melukis dalam kelompok perupa di berbagai agenda, di antaranya Solidaritas Perupa Lawan Corona 2020, Kemendikbud, Jakarta.
Malam Bakupas
Malam Bakupas, begitu Syam Terrajana memberi judul pada lukisan yang dia goreskan di tahun 2020. Syam meneguhkan, lukisan Malam Bakupas, berkesan baginya.
“Mungkin (berkesan) ini ya. Karena menurutku sangat personal banget buatku. Ini sumbernya kuambil dari foto keluargaku. Jadi aku harus bertanya ke keluargaku. Ini siapa-siapa dalam foto-foto itu. Dan, foto-foto itu gak posisi begini. Ada 3-4 foto yang aku kolase, lalu kugambar,” tutur Syam.
Dikisahkannya, Malam Bakupasi adalah tradisi membantu memasak di hajatan tetangga, handai tolan atau sanak keluarga di Gorontalo.
“Di Gorontalo, itu kalau mau hajatan mungkin sama seperti di Jawa. Orang berbondong-bondong untuk membantu. Umumnya perempuan. Mereka bawa pisau terbaiknya dari rumah. Itu disebut malam bakupas, kalau di sana. Ada semangat kebersamaan di situ. Kecilku itu tertanam banget suasana malam bakupas. Lari-lari menyelinap ngambil daging atau apa. Atau, tahu-tahu diselipin apa, sama anggota keluargaku,” tuturnya.
Bagi Syam Terrajana lukisan Malam Bakupas-tradisi kearifan lokal, ingin menyampaikan sisi lain dari sosok perempuan dan pisau.
“Tapi tak spesifik mau bercerita tentang (malam bakupas) itu juga. Setelah (lukisan) jadi, ternyata ini kok mau bercerita tentang ketangguhan perempuan sekaligus “sisi lain” dia itu, sadisme. Dan, kayaknya itu yang aku mau. Menggambarkan dua sisi antara kelembutan dan kekerasan dalam satu wadak yang namanya perempuan. Bahwa pisau yang dia bawa bisa jadi apapun. Bisa jadi makanan yang enak buat kita santap. Itu juga bisa sesuatu yang mengancam kalau kamu macam-macam, kalau sampai misalnya melukai harga dirinya, menyakitinya. Itu kalau versiku pribadi. Kalau teman-teman, monggolah, silakan membuat tafsir sendiri. Makanya aku cuma kasih cluenya lewat potongan kalimat yang aku gak bisa bilang itu puisi. Jadi aku merespons sendiri karyaku ini,” urai Syam.
Seluruh karya yang dipamerankan itu, oleh Syam Terrajana tidak ada yang dikhususkan. Dia lepaskan kepada penikmat lukisan untuk menafsirkan sendiri, dan memilih lukisan yang dianggap bagus.
“Aku gak menganak-emaskan karyaku. Mana yang bagus, ya penonton saja. Bagiku, begitu aku berkarya, ya selesai. Bebas ditafsirkan orang. Aku gak berhak lagi, kecuali kalau tidak kupamerkan hanya untuk konsumsi diriku sendiri,” katanya.
Jurnalisme Mengenal Manusia
Berprofesi sebagai jurnalis, dimaknai Syam Terrajana sebagai jalan mengenal manusia. Ini kontras dari seluruh karya Syam yang dipamerankannya.
“Menurutku, jurnalisme jalan kita mengenal manusia. Mengapa aku memilih figuratif karena aku memang harus bercerita tentang manusia. Apapun yang ada dan terjadi di sekitar kita, itu memang ulah manusia kok,” tegasnya.
Kurator Sujud Dartanto mengatakan, ruang seringkali muncul sebagai latar ekspresi Syam Terrajana. Beberapa tampak memusat pada ruang dalam, dan berlaku sebagai kunci.
“Dari situ, Syam bercerita pelbagai hal,” Sujud Dartanto dalam katalog pameran tunggal Syam Terrajana.
Sujud mencermati bagaimana Syam menjuduli lukisannya.
“Perhatikan cara Syam menjuduli karya lukisnya, dimulai dari adegan pertama dan seterusnya, setap judul lukisannya ia beri tafsir ungkapan puisi. Sebuah tautan yang saling memancarkan dan menguatkan pesan, pesan visual ke pesan kata-kata, pesan kata-kata ke pesan visual,” kata Sujud.
Dilihat dari pengurutannya, menurut Sujud Dartanto, karya-karya Syam Terrajana hadir dengan makna sekuensial, yaitu rangkaian cerita yang bertali-sambung antara satu sekuen dengan sekuen berikutnya.
“Dalam esai ini, saya tidak meringkus segera arti tiap-tiap lukisannya, namun membiarkannya terbuka untuk Anda baca senyamannya. Saya kira, Syam juga ingin untuk menakar pengalaman kekinian kita dengan teks karyanya yang tentu telah menjadi otonom, dengan sendiri, sejalur dengan konsep: karya akan berbicara sendiri, lepas dari maksud pengarangnya,” jelas Sujud.
Tiap lukisan Syam adalah sebuah rangkaian cerita, ini dibuktikan sekali dengan caranya memberikan judul ‘adegan’ secara berseri.
“Namun saya kira, bila kita hendak menikmatinya dalam satu kisah tak jadi soal, satu lukisanya bisa menjadi kisah independen, ibarat buku yang berisi deskripsi kumpulan esai,” imbuh Sujud.
Menurut Sujud, esai ini lebih tepatnya sebagai catatan pendek atas pengamatannya pada diri Syam pada pameran tunggal di Ruang Dalam Art House.
“Syam yang juga jurnalis tentu sadar batas etik, antara dunia jurnalisme dan seni rupa, yang bagi saya justru saling memperkaya. Kita akan menunggu selalu, seperti apa debat karya-karya seni rupa Syam. Petualangannya dalam berbagai irisan sejarah kreatifnya. Episode Pada Ruang yang Bercerita kali ini adalah episode pertama pameran tunggalnya yang dipersiapkan serius setelah beberapa kali Syam tampil bersama perupa-perupa nasional. Saya percaya kritik seni akan terus diperlukan Syam untuk terus menghasilkan kekuatan artistik, ketajaman pesan dan pada akhirnya pleasure, kenikmatan, dalam arti karya ini menyentuh batin penikmatnya,” tulis Sujud. (Rep-02)