Pameran Karya & Arsip Jemek Supardi·Threeda Mayrayanti·Kinanti Sekar Rahina digelar sejak tanggal 7 hingg 14 Mei 2025 di Bentara Budaya Yogyakarta.
Pameran ini mempertemukan karya, arsip, dan pertunjukan dari keluarga seniman yang memiliki kontribusi penting dalam seni pertunjukan dan rupa Indonesia: maestro pantomim Jemek Supardi, pelukis Threeda Mayrayanti, dan penari serta pendidik seni Kinanti Sekar Rahina.
Acara ini bukan sekadar pameran seni, tetapi juga momentum mengenang 1000 hari wafatnya Jemek Supardi, sekaligus ruang perayaan atas nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Latar Belakang dan Makna Pameran

Judul “Tuku Pangarep-Arep” yang berarti membeli harapan, dimaknai lebih mendalam dalam catatan kuratorial Suwarno Wisetrotomo. Judul ini mencerminkan tidak hanya momen mengenang seorang maestro, tetapi juga upaya merawat harapan dan cita-cita yang tumbuh lintas generasi.
Jemek Supardi dikenal sebagai seniman yang menolak tunduk pada konvensi. Dalam perjalanan panjangnya, ia menapaki jalan pantomim yang dipenuhi tantangan, menjadikan tubuh sebagai bahasa, suara, dan bahkan senjata untuk menyuarakan kritik sosial. Bersama istrinya, Threeda Mayrayanti, yang melukis dengan ketelatenan dan energi tubuh rakyat seperti Tayub, mereka membangun rumah seni yang hidup dan bernapas. Kini, estafet itu diteruskan oleh Kinanti Sekar Rahina, yang melalui tari, pendidikan, dan kerja komunitas, memperluas makna warisan seni menjadi ruang perjumpaan lintas disiplin.
“Yang diwariskan Jemek dan Threeda bukan hanya karya, tapi nilai-nilai keberanian, ketekunan, dan kebermaknaan. Pameran ini adalah ruang untuk melihat bahwa warisan itu hidup, terus bergerak, dan ditafsirkan ulang olehgenerasi berikutnya,” ucap Suwarno Wisetrotomo.
Menurut catatan Suwarno Wisetrotomo, pameran ini merefleksikan tiga hal penting, kesinambungan, tafsir ulang, dan keberanian. Lukisan-lukisan Threeda tidak hanya merekam gerak, tetapi juga menghadirkan energi tubuh rakyat dalam tafsir visual yang bebas. Arsip Jemek Supardi bukan sekadar dokumentasi, melainkan jejak hidup seorang seniman yang memilih kesunyian tubuh untuk berbicara lantang. Sementara karya dan aktivitas Kinanti adalah bukti bagaimana warisan tidak hanya diwariskan, tetapi dihidupkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa zaman.
Bagi Kinanti Sekar Rahina, pameran ini tak hanya mengenang sosok ayahnya semata.
Artikel lain
Tiket Habis Terjual, 20 Ribu Pengunjung Bakal Semarakkan Digiland 2025
Tiga Jemaah Haji Lansia Wafat, BP Haji: Jemaah Lansia Jadi Prioritas Layanan
Ratusan Mahasiswa dan Akademisi Ajukan Penangguhan Penahanan Massa May Day Semarang
“Pameran ini bukan hanya tentang mengenang ayah saya, tetapi juga tentang belajar bagaimana api itu terus menyala. Saya merasa dititipi harapan, bukan beban, untuk meneruskan spirit ini bersama teman-teman dan komunitas,” kata Kinanti Sekar Rahina. (Rep-02)