Usman menyinggung pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republikindonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme oleh MPR (anggota DPR RI periode lalu), melecehkan para korban pelanggaran HAM berat.
Begitu pula kasus pelanggaran HAM terkait proyek strategis nasional yang mengancam masyarakat adat seperti di Rempang, Wadas, dan Mandalika.
“DPR wajib memastikan ada keadilan untuk korban dan keluarga mereka. Akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan juga penting. Riset kami terkait pembelian alat sadap oleh Polri dan BSSN yang kurang transparan juga luput dari kontrol DPR. Padahal alat itu bukan hanya bisa digunakan untuk memata-matai aktivis, tapi juga politisi yang kritis pada pemerintah,” kata Usman.
Amnesty Internasional Indonesia menekankan, DPR harus mengawasi kinerja badan keamanan dan mendorong reformasi serius guna memastikan perlindungan hukum yang adil dan tak memihak bagi semua masyarakat.
Artikel lain
Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Vonis Kasasi MA Tragedi Kanjuruhan
Tim Advokasi Rempang: Hentikan Kriminalisasi Warga Rempang-Galang
Kasus Korupsi dan TPPU PT Duta Palma Group Kejagung Periksa Pejabat BPBD Sawit
“Sejarah harus jujur dan mengakui kesalahan masa lalunya, dan mengoreksinya agar ke depan tak berulang. Pelantikan DPR baru adalah momen penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab wakil rakyat dalam membela hak-hak rakyat, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya,” imbuh Usman. (Rep-02)