Celios Ajak Publik Kawal Putusan Penghapusan Presidential Threshold

Hakim Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan penghapusan presidential threshold dalam Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025. Foto MKRI/Bayu.
Hakim Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan penghapusan presidential threshold dalam Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025. Foto MKRI/Bayu.

RIENEWS.COM – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengajak publik mengawal putusan penghapusan presidential threshold (ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden) yang baru diputuskan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025.

Muhamad Saleh, Peneliti Hukum dan Regulasi Celios, mengungkapkan, sikap progresif Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan penghapusan presidential threshold sebagaimana diatur Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memiliki cukup alasan.

Sejak didirikan pada 13 Agustus 2003, MK telah menangani berbagai pengujian undang-undang, namun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi yang paling sering diuji, mencakup 152 perkara. Pasal 222 menjadi fokus utama sengketa hukum, dengan 32 perkara yang telah diputus dan tiga kasus lain yang sedang diproses. Dominasi pengujian terhadap pasal ini mencerminkan tingginya potensi kontroversi serta tantangan konstitusional yang terus berulang.

“Di saat yang sama, pembentuk undang-undang (DPR-Presiden) tidak ingin merubah pendirian yang terus mempertahankan presidential threshold,” kata Saleh dalam keterangan tertulis pada Kamis, 2 Januari 2025.

Keberadaan presidential threshold memberikan ‘golden ticket’ kepada partai politik besar yang menciptakan dominasi yang mengarah pada konsentrasi kekuasaan dalam pemilu.

Menurut Saleh, kondisi ini menggambarkan situasi di mana satu partai politik atau kelompok elit politik memiliki kendali signifikan, bahkan hampir penuh, atas jalannya proses pemilu, sehingga membatasi ruang kompetisi yang sehat dan merugikan prinsip demokrasi.

“Indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan, sebagaimana tercermin dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU). Pada 2023, skor demokrasi Indonesia tercatat di angka 6,53, turun dari 6,71 pada tahun sebelumnya, menempatkan negara ini dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy),” ungkapnya.

Penurunan ini mengindikasikan melemahnya prinsip-prinsip demokrasi. Untuk mendorong lahirnya sistem pemilu yang berkeadilan, Saleh menegaskan, putusan MK ini harus dijadikan momentum reformasi mendasar dalam revisi UU Pemilu ke depan.

Artikel lain

Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold, Harapan Perubahan di Pilpres 2029

Seruan Jogja Memanggil, Batalkan PPN 12 Persen, Terapkan PPN 5 Persen

Pemerintah Klaim PPN 12 Persen untuk Barang Mewah, Muhammadiyah Desak Batalkan