RIENEWS.COM – Hari kedua menapaki tahun baru 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan presidential threshold dihapus. Putusan ini harapan perubahan pemilu demokrasi di tahun 2029. Presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden dianggap sebagai tabir munculnya calon-calon berintegritas, memiliki kapabilitas dan kompetensi layak sebagai pemimpin maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Mahkamah Konstitusi dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025, mengabulkan permohonan uji materiil presidential threshold yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan Pemohon empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Para Pemohon mendalilkan prinsip one man one vote one value tersimpangi oleh adanya presidential threshold.
Uji materiil ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Serta Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang tentang Pemilu tak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Saldi Isra menegaskan, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Artikel lain
Amar Putusan Lengkap Pelanggaran Berat Etik Ketua MK Anwar Usman
Seruan Jogja Memanggil, Batalkan PPN 12 Persen, Terapkan PPN 5 Persen
Warga Pulau Pasaran Lampung Didorong Hasilkan Produk Olahan Teri Kualitas Ekspor