RIENEWS.COM – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ‘terbelah’ dalam mengambil putusan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang digugat paslon capres-cawapres Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, dan paslon capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Putusan sengketa Pilpres 2024 dibacakan secara bergilir delapan hakim MK, minus hakim MK Anwar Usman (Paman Cawapres Gibran Rakabuming Raka) yang berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dilarang terlibat sengketa Pilpres 2024.
Kedelapan hakim MK secara bergiliran membacakan putusan sengketa Pilpres 2024 pada Senin, 22 April 2024. Putusan hakim MK dalam dua perkara PHPU Pilpres 2024 ini menjadi sejarah pertama di Mahkamah Konstitusi yang dalam putusannya hakim konstitusi terbelah. Lima hakim konstitusi menolak gugatan, dan tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dalam salinan dokumen putusan sengketa Pilpres 2024, pada perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 atas pemohon paslon capres-cawapres Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar setebal 1108 halaman, dan dokumen putusan sengketa Pilpres 2024, pada perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 dengan penggugat paslon capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebanyak 1787 halaman, tiga hakim menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), lima hakim MK memutuskan menolak gugatan dari kedua paslon capres-cawapres.
Kelima hakim yang menolak gugatan sengketa Pilpres 2024 yakni, Ketua MK Suhartoyo, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Sementara tiga hakim MK lainnya menyatakan pendapat berbeda yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Ketiga hakim MK tersebut menerima dan menyatakan dalil Pemohon yang menyoalkan cawe-cawe Presiden Joko Widodo mendukung paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang tak lain putra sulung Jokowi, politisasi bantuan sosial (bansos)s, dan ketidaknetralan Pj kepala daerah, beralasan menurut hukum.
Berikut petikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dari ketiga hakim konstitusi dari dokumen salinan Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024, Anies-Muhaimin Iskandar.
Pendapat berbeda atau dissenting opinion Hakim Konstitusi Saldi Isra:
Ada dua hal yang membuat saya mengambil haluan untuk berbeda pandangan (dissenting opinion) dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yaitu dalam (i) persoalan mengenai penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden; dan (ii) perihal keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah.
Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan electoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali. Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu. Terlebih, dalam waktu dekat, yang hanya berbilang bulan akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional.
Penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan. Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum.
Setelah membaca Keterangan Bawaslu dan fakta yang terungkap di persidangan serta mencermati alat bukti para pihak secara saksama, saya menemukenali bahwa terdapat masalah netralitas Pj. kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi, antara lain, di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Adapun bentuk ketidaknetralan Pj. kepala daerah, di antaranya, berupa penggerakan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, pembagian bantuan sosial atau bantuan lain kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas pasangan calon tertentu, penyelenggaraan kegiatan massal dengan mengenakan baju dan kostum yang menonjolkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu, pemasangan alat peraga kampanye (APK) di kantor-kantor pemerintah daerah, serta ajakan untuk memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah. Selain soal netralitas Pj. kepala daerah, terungkap juga sebagai fakta di persidangan adanya pengerahan atau mobilisasi kepala desa, antara lain, seperti di Jakarta dan Jawa Tengah.
Berbagai bentuk ketidaknetralan tersebut telah dilaporkan kepada Bawaslu dan sebagiannya terbukti. Terhadap laporan yang terbukti tersebut, Bawaslu telah merekomendasikan kepada instansi terkait, seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), untuk ditindaklanjuti karena terbukti melanggar peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan ketidaknetralan tersebut, KASN telah merilis hasil survei pada Desember 2023 yang menunjukkan bahwa sebagian Pj. kepala daerah dinilai belum optimal dalam mengawal netralitas ASN. Salah satu penyebab utamanya adalah intervensi politik sehingga membuat ASN melanggar netralitas.
Artikel lain
Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024, Presiden ke 5 hingga HRS Ajukan Amicus Curiae
Pidato Lengkap Anies di Sidang Sengketa Pilpres 2024: Kita di Persimpangan yang Kritis
Sengketa Pilpres 2024 Sembilan Ahli Ganjar-Mahfud Beberkan Pelanggaran TSM Pilpres