Penggelontoran bansos menjelang pencoblosan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam bentuk BLT Mitigasi Risiko Pangan yang belum masuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun 2024 merupakan tindakan sepihak Presiden Jokowi tanpa persetujuan DPR.
Didin mengatakan dengan politisasi penggelontoran bansos secara masif pada 2024 dengan keterlibatan para ketua umum partai politik pengusung Paslon 02 Prabowo-Gibran, Presiden Jokowi, serta sejumlah menteri, tanpa mengambil cuti telah menggunakan fasilitas jabatan dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral.
Menurut Didin, hal demikian merupakan manifestasi dari Pork Barrel Politics seperti yang dipraktikkan anggota legislatif Amerika Serikat. Praktik politik ini menjadi sangat efektif ketika perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih pascapandemi Covid-19.
Pada saat itu, bansos pangan maupun tunai seperti oase yang mengobati krisis ekonomi tingkat bawah, yang notabene tingkat literasi politiknya rendah dan lebih dari 50 persennya penduduk miskin dan nyaris miskin.
Dengan demikian, kata Didin, sebagian besar masyarakat memandang bansos pangan maupun tunai sebagai kebaikan Presiden Jokowi yang harus dibalas dengan memilih paslon yang didukungnya.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, potensi manipulasi bantuan untuk memperkuat basis dukungan elektoral partai atau pemimpin yang berkuasa, sering kali mengorbankan distribusi yang adil dan berbasis kebutuhan.
Fenomena ini dikenal sebagai klientelisme, memperlihatkan bagaimana bantuan sosial dapat digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada daripada melayani kepentingan publik secara umum.
Hamdi mengutip Diaz, dkk. (2016) yang mencoba mengkaji bansos yang terjadi di Meksiko, temuannya menjelaskan bagaimana program bantuan sosial dapat dirancang dan diimplementasi dengan cara memaksimalkan manfaat politik bagi pemimpin yang sedang berkuasa sering kali mengabaikan kriteria kebutuhan atau keadilan sosial dalam distribusi bantuan.
“Bantuan sosial telah menjadi alat penting dalam politik tidak hanya sebagai sarana untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga sebagai strategi politik untuk mempengaruhi perilaku pemilih,” jelas Hamdi.
Skema Sebab Akibat
Ahli Psikologi Sosial Risa Permana Deli mengurai perspektif individu dalam tindakan memilih. Dia mengatakan, skema sebab-akibat paling sering dipakai pada rekayasa sosial.
Dalam politik populis, skema tersebut paling sering dilakukan rekayasa dan nalar seperti ini yang sedang terjadi dalam keadaan demorasi Indonesia kini.
“Politik populis memakai prinsip skema ini untuk menyederhanakan penalaran politik kerakyatan yang seharusnya berwibawa, kompleks, mempertaruhkan nilai-nilai kolektivitas untuk akhirnya menjadi semata-mata rekayasa kemenangan,” jelas Risa.
Pelanggaran TSM
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura menyebut dalil pelanggaran TSM memang sudah dirumuskan dalam politik hukum Indonesia, seperti dalam Undang-Undang Pilkada maupun Undang-Undang Pemilu.
Charles menyatakan, aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu rentan menjadi pihak yang potensial dalam pelanggaran TSM.
“Politik hukum kita selalu mengarahkan ke situ, itu. Faktanya, dalam setiap pemilu kita, yang melakukan pelanggaran terstruktur itu, ya dua pihak itu. Ya kalau tidak penyelenggara pemilu, ya aparat pemerintah,” kata Charlesdi hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang ketuai Suhartoyo.
Pemilu 2014, kata Chasrles, ketika pasangan capres-cawapres yang berkompetisi, yakni Prabowo Subianto dengan Joko Widodo, dalil pelanggaran TSM diarahkan kepada penyelenggara Pemilu.
Dalil kala itu tidak mengarah ke pemerintah utamanya kepada Presiden SBY karena petahana tidak mencalonkan diri. Karena itu, lanjut Charles, Prabowo yang kala itu mengajukan PHPU Presiden mendalilkan pelanggaran TSM pada penyelenggara pemilu.
“Untuk bisa diperiksanya pelanggaran TSM, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga pembanding Keputusan Bawaslu/DKPP, bukanlah pembanding atau kasasi, tapi bagaimana memeriksa fakta-fakta dalam persidangan,” terang Charles.
MK Tidak Hanya Memutus Sengketa Hasil Pemilu
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menuturkan, secara terminologi, tentang hasil berarti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hasil. Jadi tidak sebatas pada hasil itu sendiri. Hal-hal lain yang berhubungan dengan hasil adalah termasuk proses yang membuahkan hasil tersebut.
Dijelaskannya, seharusnya dengan kembali pada rumusan frasa wewenang sebagaimana ditentukan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 makna “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” mempunyai makna yang lebih luas atau komprehensif dari hanya sekadar memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura menekankan Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menyelamatkan demokrasi konstitusional Indonesia.
Dalam konteks Pemilu 2024, khusus untuk dimensi kecurangan dan pelanggaran pemilu yang dibawa Pemohon ke MK, menjadi suatu keniscayaan untuk diperiksa dan diuji secara faktual dengan kualitas pembuktian yang mendalam oleh MK.
Pembuktian untuk kecurangan pemilu menjadi sangat penting dalam memastikan apakah hasil pemilu yang sudah didapatkan oleh para peserta pemilu, khususnya untuk calon presiden dan wakil presiden bersumber dari sebuah kompetisi pemilu yang fair, sesuai dengan aturan main, dan berjalan di atas proses pengawasan dan penegakan hukum profesional, jujur, dan adil.
Dalam hal terdapat dalil tentang kecurangan di dalam tahapan pelaksanaan pemilu yang dimohonkan kepada MK, apalagi praktik kecurangan itu sama sekali belum diperiksa dan diputus Bawaslu, termasuk juga sudah diperiksa dan diputus Bawaslu.
“Artinya penting bagi MK untuk memastikan proses penanganan di Bawaslu sudah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, dan adil,” kata Charles.
Charles menjelaskan, wewenang MK memeriksa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di luar yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu pernah diputus MK dalam PHPU Kepala Daerah yang mencakup beberapa bentuk, antara lain manipulasi syarat administrasi pencalonan, politik uang (money politics), politisasi birokrasi, kelalaian petugas (penyelenggara pemilu), memanipulasi suara, ancaman/intimidasi, serta netralitas penyelenggara pemilu.
Artikel lain
Mudik Lebaran 2024, Menhub Tekankan Antisipasi Gangguan di Jateng
Imbauan Mudik Lebaran 2024 Lebih Awal Kemenhub Siapkan Sarana Transportasi
Wajib, Pengecekan 8 Komponen Mobil Sebelum Perjalanan Jauh
Sementara dalam PHPU Presiden, meskipun tidak terbukti, MK pernah memeriksa pelanggaran TSM pada Putusan MK Nomor 01/PHPU-Pres/XVII/2019, yaitu ketidaknetralan aparatur negara (polisi dan intelijen), diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program pemerintah, penyalahgunaan anggaran BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak masuk akal, kekacauan Situng (Sistem Informasi Penghitungan) KPU dalam kaitannya dengan DPT, serta Dokumen C7 secara sengaja dihilangkan di berbagai daerah.
Selain sembilan ahli, Tim kuasa hukum Ganjar-Mahfud juga mengajukan sepuluh saksi yang akan memberikan keterangan pada persidangan. (Rep-02)
Sumber: Mahkamah Konstitusi